Inibaru.id - Bambu bukan sekadar tanaman yang tumbuh di halaman rumah atau tepi sungai. Dalam pandangan orang Jawa, bambu adalah guru kehidupan. Dari batangnya yang tegak namun lentur, lahirlah falsafah ngilmu pring yaitu belajar dari bambu tentang bagaimana menjalani hidup dengan seimbang dan bijak.
Bambu tumbuh cepat, kuat, tapi mudah menyesuaikan arah saat diterpa angin. Ia nggak melawan, hanya melengkung sebentar lalu kembali tegak setelah badai berlalu. Dari situlah orang Jawa belajar: hidup menuntut kekuatan, tapi juga keluwesan. Keras kepala hanya membuat patah; lentur membuat kita bertahan.
Setiap jenis bambu menyimpan pesan hidup tersendiri. Pring dheling mengingatkan agar manusia selalu wawas diri, nggak mudah mengeluh. Pring cendhani menasihati untuk berani menghadapi ketakutan, bukan lari darinya. Pring kuning menuntun agar selalu eling marang sing maringi atau ingat pada Sang Pemberi. Pring apus, yang tampak halus tapi mudah patah, menjadi simbol pentingnya kejujuran; hidup bisa rapuh tanpa kejujuran. Sementara pring petung mengajarkan ketenangan ketika hidup terasa suwung alias kosong dan tanpa arah. Tenanglah, jalan terus, karena setiap hampa punya waktunya sendiri.
Bambu juga menjadi pengingat bahwa hidup bersifat sementara. Dalam tradisi Jawa, bambu sering digunakan untuk mengusung jenazah. Seolah ingin berkata, dari bambu kita belajar bahwa semua yang hidup akan kembali ke bumi. Nggak ada yang abadi, termasuk kita.
Filosofi bambu menuntun manusia agar nggak serakah, nggak kaku, dan selalu selaras dengan alam. Ia tumbuh berumpun, saling menopang satu sama lain, seperti manusia yang semestinya hidup dalam kebersamaan.
Kalau falsafah bambu ini kita resapi, hidup terasa lebih ringan dan bermakna. Karena sejatinya, seperti bambu, manusia diciptakan untuk tegak tanpa angkuh, lentur tanpa kehilangan arah, dan tumbuh bersama alam, bukan menentangnya.
Apa kamu juga mengambil pelajaran hidup dari sebatang bambu, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
