Inibaru.id – Belakangan ini di media sosial ramai pembahasan soal tradisi “naik haji” di Gunung Bawakaraeng yang ada di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Sejumlah warganet menyebut penyebutan istilah “naik haji” tersebut sebagai sesuatu yang nggak tepat. Tapi, ada juga warganet yang menyebut sudah banyak orang yang menjalani ritual naik gunung dengan ketinggian 2.883 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. Lantas, sebenarnya seperti apa sih ritual ini?
FYI saja, nih, layaknya orang-orang yang naik haji di Makkah, mereka yang menjalani ritual “haji” Gunung Bawakaraeng juga melakukannya saat Iduladha. Karena penasaran, peneliti Transkrip Tradisi Lisan bernama Fadhly Kurniawan sampai penasaran dan ikut melakukan tradisi ini.
“Ini tradisi lisan yang sudah dikenal oleh banyak masyarakat Sulawesi,” ungkapnya sebagaimana dilansir dari Republika, Sabtu (8/7/2023).
Fadhly mengaku sudah dua kali mengikuti tradisi ini, yaitu pada 2019 dan pada Kamis (29/6/2023) lalu. Pada pendakian gunung yang kedua, dia melakukannya bersama dengan sejumlah rekan akademisi dari Universitas Indonesia dan warga lokal yang berasal dari Manipi. Dari kedua pendakian itulah, dia menyebut istilah “naik haji” untuk ritual ini sebenarnya kurang tepat.
“Nggak ada satu pun replika ibadah haji di Makkah yang dilakukan di sini seperti memakai kain ihram, wukuf, thawaf, sai, dan lain-lain. Lebih pas kalau dibilang kegiatan salat Iduladha tapi di Gunung Bawakaraeng. Ada protokol MC, imam, dan khatib yang berasal dari Kindang-Bulukumba,” jelas Fadhly.

Lantas, mengapa selama ini yang berkembang adalah istilah haji? Hal ini masih jadi misteri hingga sekarang. Tapi, dia menduga karena ritual ini dilakukan bersamaan dengan waktu Iduladha atau yang masyarakat umum dikenal dengan sebutan Lebaran Haji.
Dugaan lain, dalam Bahasa Kondo yang masih dipakai masyarakat Manipi, kata Haji’ atau Baji’ bisa diartikan sebagai hal yang baik. Nah, mereka yang melakukan ritual ini juga harus menjaga adab atau melakukan hal-hal baik.
“Ada beberapa nilai yang dianggap bisa meningkatkan sensitivitas spiritual. Jadi, yang melakukan ritual ini bakal merasa dirinya kembali fitrah atau suci,” ungkap Fadhly.
O ya, tradisi ini kabarnya terkait dengan cerita sejarah yang dilakukan Syekh Yusuf, ulama pada masa kejayaan Kerajaan Gowa. Dulu, Syekh Yusuf sengaja melakukan pendakian Ma’lino alias bertafakur untuk mencari ilmu di Gunung Bawakaraeng.
Selain itu, nama Gunung Bawakaraeng sendiri bisa diartikan sebagai ucapan atau tindakan mengingat Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, tradisi mendaki gunung tersebut saat Lebaran Haji bisa dianggap sebagai salah satu cara untuk mengingat Tuhan.
Jadi, sudah mengerti kan seperti apa sebenarnya ritual “haji” di Gunung Bawakaraeng ini, ya. Meski penggunaan istilah “haji” bisa memicu perdebatan, ada baiknya kita tidak perlu mempermasalahkannya kembali karena tradisi spiritual ini sudah dilakukan turun-temurun dan sama sekali nggak menyalahi apapun, Millens. (Arie Widodo/E05)