Inibaru.id – Pada 1584, Panembahan Senopati mendeklarasikan terbentuknya Kesultanan Mataram Islam di Alas Mentaok yang saat ini dikenal dengan sebutan kota Yogyakarta. Sayangnya, melalui Perjanjian Giyanti yang ditandatangi 13 Februari 1755 membuat kerajaan ini terbelah.
Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa yang menandai pecahnya Mataram Islam menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Solo. Isi perjanjian ini nggak hanya melibatkan pribumi saja, Perjanjian Giyanti juga melibatkan VOC.
Berebut Kekuasaan Mataram
Awal mula perpecahan Mataram Jawa adalah dari pertikaian antar-anggota keluarga istana. Mengutip Tirto (19/3/2023), ada tiga tokoh utama yang terlibat dalam perang saudara ini, yaitu Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.
Pakubuwana II, raja pendiri Kasunanan Surakarta dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak-beradik, sama-sama putra dari Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726. Kalau Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Raden Mas Said mengklaim bahwa dia berhak atas takhta Mataram yang diduduki pamannya, Pakubuwana II. Alasannya? Pangeran Arya Mangkunegara alias ayahnya merupakan putra sulung Amangkurat IV.
Saat itu, Raden Mas Said mengobarkan perlawanan terhadap VOC untuk menuntut haknya sebagai pewaris kuasa Mataram. Hal serupa juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi karena dia merasa memiliki hak yang sama atas takhta kerajaan.
Akhirnya, tanggal 13 Februari 1755 lahirlah Perjanjian Giyanti bak pedang yang membelah wilayah dan kekuasaan Mataram menjadi dua.
Perbedaan Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta
Setelah Perjanjian Giyanti, Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua dan membuat budaya yang berbeda pula.
Setelah Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi mendapat setengah wilayah Mataram dan memunculkan kerajaan baru bernama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Rajanya adalah Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Sedangkan Kesunanan Surakarta yang kedudukannya tetap di Surakarta tetap dipimpin oleh raja bergelar Susuhunan Pakubuwana yaitu Susuhunan Pakubuwana III.
Nggak hanya gelar rajanya yang berbeda, dari segi bangunan dan cara berpakaian kedua kerajaan ini juga berbeda.
Mengutip dari Adjar (21/3), Kraton Yogyakarta identik dengan bangunan Jawa dan Hindu Klasik dengan banyak ornamen-ornamen Jawa yang kental di sana. Sementara di Kraton Surakarta cenderung bernuansa putih-biru dengan desain arsitektur campuran Jawa-Eropa.
Cara berpakaiannya keduanya pun berbeda, lo. Kalau kamu cermat, beskap dan surjen yang dikenakan para abdi dalem di Kraton Yogyakarta lebih bermotif daripada Kraton Surakarta yang lebih polos.
Nggak hanya itu, atribut yang dikenakan juga berbeda, Millens. blangkon yang dikenakan di Kraton Yogyakarta terdapat benjolan atau mendolan di bagian belakang untuk tempat gulungan rambut. Sebaliknya, blangkon Kraton Surakarta nggak punya benjolan itu.
Keris yang digunakan keduanya pun berbeda. Keris di Kraton Yogyakarta memiliki pangkal yang cenderung lebih tumpul, sedangkan pangkal keris dari Kraton Surakarta lebih lancip.
Sekarang kamu sudah tahu perbedaan dari dua kerajaan yang sampai sekarang masih ada di Pulau Jawa ini, kan? Jangan sampai salah membedakan, ya! (Fatkha Karinda Putri/E10)