Inibaru.id -Kini, beduk identik dengan suara yang menggema dari masjid setiap waktu salat tiba. Tapi, tahukah kamu kalau dulu beduk justru punya fungsi yang sama sekali berbeda yakni sebagai alat komunikasi perang?
Beduk, alat musik tabuh berbentuk gendang besar ini biasanya terbuat dari batang kayu utuh, seperti pohon enau, yang bagian tengahnya dilubangi hingga berbentuk tabung. Salah satu ujungnya kemudian ditutup kulit hewan yang berfungsi sebagai selaput gendang. Suaranya berat, khas, dan bisa terdengar hingga jarak yang cukup jauh. Makanya dulu cocok dijadikan alat pemberi tanda bahaya atau pemanggil pasukan.
Menurut legenda, beduk dibawa ke Indonesia oleh armada Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok. Ketika tiba di Semarang, rombongan Cheng Ho memperdengarkan bunyi beduk kepada Raja Jawa sebagai tanda penghormatan. Di negeri asalnya, beduk juga digunakan di kuil-kuil Buddha di Tiongkok, Korea, dan Jepang sebagai alat ritual keagamaan.
Namun jauh sebelum itu, masyarakat Nusantara pada masa Hindu sudah mengenal alat serupa yang disebut teg-teg. Beduk kala itu digunakan untuk mengumpulkan warga menjelang perang. Baru pada masa Islamisasi abad ke-15, beduk mendapat makna baru: menjadi penanda waktu ibadah.
Catatan dari Penjelajah Belanda
Catatan Cornelis de Houtman, pelaut Belanda yang pertama kali datang ke Nusantara, menyebut beduk populer di daerah Banten. Menurutnya, setiap perempatan jalan memiliki genderang besar yang dibunyikan sebagai tanda bahaya atau penanda waktu.
Beberapa tahun kemudian, dokter kapal Belanda, Wouter Schouten, juga mencatat hal serupa di Ternate dan Banten. Dia menulis bahwa suara beduk di masjid terdengar hingga bermil-mil jauhnya, bahkan sampai ke pegunungan.
Sejak abad ke-17, beduk nggak hanya menjadi penanda waktu salat, tapi juga tradisi sosial. Suaranya yang khas memanggil warga untuk beribadah, sekaligus menjadi simbol kebersamaan di tengah masyarakat.
Meski kini teknologi sudah menggantikan fungsinya dengan pengeras suara dan jam digital, gema beduk tetap punya tempat istimewa. Dia bukan sekadar alat tabuh, tapi juga saksi perjalanan panjang budaya dan spiritualitas di Nusantara.
Menarik banget ya? Di masjid atau musala di sekitar tempat tinggalmu masih menggunakan beduk asli atau diganti rekaman nih, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
