Inibaru.id - Dalam lanskap ekonomi digital dan sistem keuangan yang semakin kompleks, kolaborasi antarlembaga menjadi kunci untuk menciptakan tata kelola yang lebih akuntabel dan transparan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum RI menjawab tantangan ini melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang pertukaran data dan informasi pada Selasa (16/7/2025) lalu.
Ditandatangani oleh Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Agus E Siregar dan Sekretaris Ditjen AHU Widodo, kerja sama ini merupakan tindak lanjut konkret dari Nota Kesepahaman antara Ketua Dewan Komisioner OJK dan Menteri Hukum Republik Indonesia yang diteken pada 24 Januari 2025.
“Kerja sama ini bertujuan memperkuat pengawasan terhadap kewajiban pendaftaran jaminan fidusia serta meningkatkan validitas data badan hukum dan pemilik manfaat,” jelas Agus E Siregar, dalam keterangan resminya, Kamis (24/7).
Transparansi Pemilik Manfaat
Dalam praktik perbankan dan pembiayaan, jaminan fidusia atau pendelegasian wewenang pengelolaan uang berperan penting sebagai jaminan hukum. Maka, untuk memastikan kepastian hukum dan melindungi pihak-pihak dalam perjanjian pembiayaan, jaminan fidusia harus didaftarkan.
Menurut Sekretaris Ditjen AHU Widodo, di sinilah kerja sama pertukaran data antara OJK dengan Ditjen AHU menjadi vital.
“Dengan pertukaran data yang terintegrasi, kami bisa lebih efektif memantau dan memastikan seluruh jaminan fidusia telah terdaftar sesuai UU No 42 Tahun 1999,” terangnya mewakili Ditjen AHU.
Lebih dari itu, kerja sama ini juga merupakan bentuk implementasi dari Peraturan Presiden No 13 Tahun 2018 mengenai prinsip mengenali pemilik manfaat (beneficial ownership) korporasi sebagai bagian dari upaya pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Membangun Kepercayaan Publik
Melalui kerja sama ini, kedua lembaga berupaya mengintegrasikan data badan hukum dengan sistem pengawasan dan perizinan di sektor jasa keuangan. Dengan begitu, setiap pengajuan perizinan usaha ngak hanya berdasarkan dokumen administratif, tetapi juga ditopang oleh data yang tervalidasi secara real time.
Selain itu, kerja sama ini juga mendukung Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) 2025–2026, yang salah satunya adalah membangun sistem integrasi data antarlembaga untuk menutup celah penyalahgunaan badan hukum fiktif atau penyamaran pemilik manfaat dalam transaksi keuangan.
Ke depan, OJK dan Ditjen AHU berkomitmen untuk terus memperkuat sinergi ini melalui peningkatan sistem teknologi informasi, evaluasi rutin, dan perluasan cakupan pertukaran data. Dengan fondasi data yang kuat, Indonesia diharapkan mampu menumbuhkan sektor jasa keuangan yang bersih, sehat, dan dipercaya.
“Ini bukan hanya tentang efisiensi birokrasi, tapi juga membangun kepercayaan publik dan investor terhadap sistem hukum dan keuangan kita,” pungkas Agus.
Dengan pengelolaan yang tepat, sinkronisasi OJK-Ditjen AHU semoga benar-benar mamu memperkuat pengawasan jaminan fidusia dan transparansi pemilik manfaat untuk sektor keuangan yang lebih berintegritas. (Siti Khatijah/E10)
