BerandaPasar Kreatif
Senin, 28 Jul 2025 13:06

Data adalah 'Mata Uang' Paling Berharga di Era Digital

Penulis:

Data adalah 'Mata Uang' Paling Berharga di Era DigitalSiti Khatijah
Data adalah 'Mata Uang' Paling Berharga di Era Digital

Ilustrasi: Server sebagai tempat menyimpan data saat ini menjadi salah satu tempat paling berharga dengan pengamanan ketat di dunia. (Getty Images)

Jika masih berpikir bahwa medsos yang kamu gunakan itu gratis, kamu keliru. Kamu sebetulnya "membayar" dengan data pribadimu, karena di era digital saat ini, ia adalah komoditas yang mungkin nilainya jauh lebih besar dari itu.

Inibaru.id - Jamal, bukan nama sebenarnya, belakangan mengaku memiliki bisnis sampingan sebagai penyedia data untuk sebuah komunitas digital yang berbasis di Eropa. Untuk satu dataset (kumpulan data yang biasanya disajikan dalam format tabel) tertentu, dia dibayar menggunakan kripto.

"Aku baru masuk, diajak teman yang berkontak via Twitter (sekarang X). Secara rutin aku menyediakan data. Lumayan," tuturnya via pesan pendek, Senin (28/7/2025). "Aku nggak nyangka, sih. Data yang dulu nggak punya nilai, sekarang jadi berharga."

Di era digital, data adalah komoditas strategis. ‎Kalau kata Pakar Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha, nilainya mungkin sudah setara dengan energi atau mineral. Hal ini bisa dilihat dari hasil kesepakatan dagang antara Indonesia dengan AS belum lama ini yang salah satunya menyebut tentang transfer data pribadi.

‎"Negara-negara besar telah menjadikan penguasaan data sebagai instrumen pengaruh global," tuturnya, Kamis (24/7) lalu. ‎"Maka, ketika data pribadi warga Indonesia mengalir ke luar negeri, ini menjadi perhatian yang serius."

Lebih dari Sekadar Angka

Perlu kamu tahu, saat ini data bukanlah sekadar kumpulan angka atau catatan, tapi aset berharga yang perlu kita jaga keberadaannya. Bayangkan, setiap klik, scroll, dan ketukan jari di layar ponselmu hari ini bukanlah sekadar aktivitas biasa!

Di baliknya, tersimpan nilai ekonomi yang sangat besar. Inilah kenyataan di era digital yang menjadikan data sebagai komoditas paling berharga yang menggerakkan dunia. Ia ibarat bahan bakar utama ekonomi digital. Menurut laporan International Data Corporation (IDC), dunia diperkirakan akan menghasilkan 175 zetabit data hingga 2025.

Sedikit gambaran, zeta adalah satuan sebesar 10 pangkat 21. Artinya, satu zetabit setara dengan semiliar terabit. Pertumbuhan masif ini nggak hanya terjadi karena peningkatan jumlah pengguna internet, tapi juga hadirnya perangkat pintar di segala aspek kehidupan, mulai dari ponsel hingga kulkas; setiap detiknya.

Yang menarik, nggak seperti sumber daya alam yang bisa habis, data bersifat tak terbatas dan semakin bernilai jika dikombinasikan dengan data lain. Karakteristik ini menjadikan data sebagai aset strategis yang dilirik oleh semua pihak, dari individu, negara, hingga korporasi global.

Siapa yang Memanen?

Pertanyaannya, siapa yang akan memanen data ini? Jika berpikir bahwa platform media sosial atau marketplace yang kamu gunakan itu gratis, kamu keliru. Kamu sebetulnya "membayar" mereka dengan menyuplai data secara sukarela.

Setiap preferensi yang kamu tunjukkan lewat klik, lokasi yang dikunjungi, hingga pola belanja yang kamu lakukan; terekam dan dianalisis untuk penyusunan profil digital. Dengan profil ini, perusahaan dapat menayangkan iklan yang sangat personal dan tepat sasaran.

Ilustrasi: Media sosial tidak disediakan secara gratis, karena kita 'membayar' dengan memberikan data kepada mereka secara sukarela. (Getty Images) 
Ilustrasi: Media sosial tidak disediakan secara gratis, karena kita 'membayar' dengan memberikan data kepada mereka secara sukarela. (Getty Images)

Maka, jangan heran jika sepatu yang kamu cari di internet semalam tiba-tiba muncul di laman utama atau iklan di media sosialmu keesokan harinya. Namun, kegunaan data bukan cuma itu. Di sektor kesehatan misalnya, data rekam medis digunakan untuk memprediksi risiko penyakit.

Di bidang pertanian, sensor dan data cuaca digunakan untuk meningkatkan hasil panen. Sementara, data dalam dunia keuangan bisa dianalisis untuk mendeteksi potensi penipuan hanya dalam hitungan detik. Jadi, siapa yang memanen? Jawabannya, siapa saja yang bisa menggunakannya.

Kompensasi untuk Data Kita

Di medsos atau marketplace, kita seolah memberikan data dengan sukarela sebagai kompensasi karena telah diperbolehkan menggunakan platform tersebut secara gratis. Namun, masihkah kita menganggapnya "sukarela" jika data yang kita hasilkan nilainya lebih besar dari sekadar akses gratis itu?

Kamu perlu bertanya, siapa yang paling diuntungkan dari data pribadi kita? Pakar etika digital Jaron Lanier pernah memperingatkan soal bahaya "ekonomi digital yang eksploitatif" ini, yakni ketika satu individu nggak mendapatkan kompensasi yang layak atas data yang mereka hasilkan.

Dia kemudian mendorong hadirnya konsep data dignity, yaitu hak setiap orang untuk mendapat pengakuan dan manfaat dari data pribadinya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika dataset itu bukanlah tentang satu individu atau kelompok, tapi data keseluruhan yang terperinci dari suatu negara?

Inilah yang saat ini dikenal sebagai kolonialisme digital; sebuah situasi ketika data masyarakat suatu negara diekstraksi dan dimanfaatkan oleh korporasi global tanpa kontrol lokal yang memadai, yang memperparah ketimpangan antara negara maju dan berkembang dalam hal kepemilikan dan pemanfaatan data.

Regulasi dan Inovasi Sosial

Untuk menjawab tantangan ini, sejumlah negara mulai memperkuat regulasi. Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mulai berlaku sejak 2022 menjadi tonggak penting, karena menegaskan hak individu atas data pribadinya.

Namun, apakah perlindungan hukum ini cukup? Mungkin tidak. Karena itulah, di berbagai belahan dunia, mulai bermunculan inisiatif seperti "koperasi data", semacam komunitas yang menghimpun data dari anggotanya untuk dijual secara kolektif, dengan keuntungan dibagi rata.

Model ini memungkinkan pekerja lepas, petani, bahkan seniman untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari data yang mereka hasilkan sendiri. Barangkali, model inilah yang tengah ditekuni Jamal.

Di berbagai forum digital juga mulai bermunculan gagasan tentang pasar data yang memungkinkan data diperdagangkan secara transparan dengan harga yang dinamis dan lisensi yang adil. Dengan begitu, data bisa menjadi komoditas bernilai ekonomi tanpa menghilangkan nilai etis dan hak kepemilikannya.

Jadi, sebelum mekanisme "pasar data" itu ada, pastikan untuk menjaga data pribadimu ya, karena ia sangatlah berharga dan kamu berhak menentukan untuk apa ia digunakan. Sebagi langkah awal, mulailah dengan membaca kebijakan privasi tiap kali mengunduh aplikasi ya, Gez! (Siti Khatijah/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved