Inibaru.id - Kompleks Menara Kudus, seperti biasa, selalu ramai. Nggak peduli pagi, siang, atau sore, para pengunjung terus mengalir berdatangan tanpa henti, nggak terkecuali hari itu, sekitar pertengahan Juli 2025 lalu, saat pameran bertajuk Intelektual Syekh Abdul Hamid Kudus dan Jejak Ulama Kudus dalam Khasanah Keilmuan Islam digelar.
Sekelompok pengunjung tampak malu-malu menyambangi pameran, sementara yang lain hanya berdiri lama di depan meja berkaca yang mematut lembaran-lembaran tua beraksara Arab gundul atau tanpa harakat. Naskah-naskah klasik yang lama tak tampak itu seakan kembali bernapas.
Bertempat di selasar kompleks Masjid Menara yang berada di jantung kota Kudus, pameran ini bukan sekadar event seremonial, tapi awal dari sebuah misi besar, yakni Jelajah Turots Nusantara (Jalantara) zona Jawa-Madura, yang kemudian akan berlanjut ke Sumatera, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Barat.
“Kami ingin menyulut kembali obor yang dulu pernah terang di bumi Nusantara,” kata KH Utsman Hasan Al-Akhyari, Ketua Nahdlatut Turrots, membuka percakapan dengan suara rendah tapi mantap kepada Inibaru.id.
Yang menjadi sorotan adalah tokoh sentral, Syekh Abdul Hamid Kudus; ulama besar kelahiran 1860 yang karyanya mengalir deras di bidang tata bahasa Arab, fikih, dan sastra tinggi.
Di antara manuskrip yang dipamerkan, satu judul menjadi magnet utama, yakni Fathul Aliyyil Karim fi Maulidin Nabiyil Adzim, sebuah kitab maulid yang sempat hilang, tapi kini telah kembali dipublikasikan.
“Bahasa yang dipakai Kiai Hamid itu sastra tinggi, tapi anehnya terasa seperti bahasa kita sendiri. Dekat. Tidak asing,” ujar Utsman sambil menunjukkan salinan kitab dengan sampul hijau tua, yang ditulis tangan dengan tinta yang mulai memudar.
Di lembar lain, terlihat karya seperti Latihaful Isyarat dan Athufah Al-Mardiyah, naskah-naskah yang membuktikan kapasitas keilmuan Syekh Abdul Hamid sebagai ulama mutafannin, sosok polymath yang menguasai banyak cabang ilmu sekaligus secara menyeluruh.
Asli Kudus, Bukan dari Timur Tengah
Selama ini, nama Syekh Abdul Hamid Kudus kerap disangka berasal dari Timur Tengah karena reputasinya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Mekkah. Nah, pameran ini mengonfirmasi bahwa sejatinya dia adalah bumiputera asli Kudus—darah, tanah, dan ilmunya.
“Banyak orang baru tahu bahwa beliau bukan dari luar negeri, tapi dari kampung kita sendiri,” tutur Utsman. “Turots ini napas, bukan fosil, yang menyambungkan kita dengan mereka yang meletakkan fondasi peradaban Islam di tanah ini.”
Tak hanya para kiai dan santri senior, pameran ini juga menyedot perhatian generasi muda. Salah satunya adalah Bani, mahasiswa salah satu universitas di Kudus yang datang bersama beberapa temannya.
“Melihat langsung karya ulama Nusantara rasanya seperti disentuh sejarah,” katanya. “Kami terbiasa dengan kitab terbitan Timur Tengah, tapi jarang menyadari kekayaan ilmu dari ulama sendiri.”
Menurut Bani, pengalaman ini bukan sekadar intelektual, tapi emosional. “Saya merasa diajak pulang,” ucapnya lirih.
Kudus adalah Rumah yang Layak
Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) KH Muhammad Fathan mengaku menyambut baik acara ini. Menurutnya, Kudus bukan hanya tempat lahir tokoh besar, tapi juga rumah yang layak bagi warisan ilmu mereka.
“Banyak santri luar daerah yang mondok di sekitar Menara karena ingin belajar langsung dari sumber. Pameran ini mempertegas Kudus sebagai pusat keilmuan,” katanya.
Fathan menyebut cita-cita para pendiri yayasan seperti KH Asnawi dan KH Hamid terus dijaga lewat gerakan-gerakan seperti ini.
“Kalau bukan kita yang mengenalkan turots ini ke publik, siapa lagi?” tuturnya.
Oya, terkait Program Jalantara, Utsman menargetkan, akan ada dokumentasi 500 naskah kuno hingga 2026 mendatang. Menurutnya, itu merupakan angka yang ambisius, tapi bukan berarti mustahil.
“Setiap naskah adalah mata rantai,” tegas Utsman. “Kita boleh belajar dari luar, tapi jangan sampai tercerabut dari akar. Dan akar itu ada di sini, di tangan para ulama Nusantara yang menulis, mengajar, dan mencintai negeri ini dalam diam mereka.”
Ketika langit mulai petang, dan pengunjung terakhir keluar dari area pameran, lembaran-lembaran turots itu tetap tinggal di balik kaca. Namun, mereka kini lebih dari sekadar benda lama, tapi bara yang mulai menyala lagi. (Imam Khanafi/E10)
