Inibaru.id – Tejate atau "minuman para dewa" menjadi sajian populer di Meksiko. Minuman yang kerap disajikan dalam Dia De Los Muertos (Hari Raya Kematian) ini semula diperuntukkan bagi para petinggi Suku Aztec; terbuat dari jagung, biji kakao, dan biji mamey sapote, buah manis yang masih berkerabat dengan sawo.
Di Indonesia, mamey sapote mungkin baru dikenal belakangan ini. Itu pun setelah banyak orang mengetahui besarnya nilai ekonomi pada buah kaya serat tersebut. Namun, keberadaan Tejate menunjukkan bahwa buah ini sudah ada sejak peradaban Aztec, yang bahkan diduga sudah dinikmati orang Maya ribuan tahun sebelumnya.
Perlu kamu tahu, suku Maya telah mendiami Mesoamerika (Meksiko dan Amerika Tengah) bagian selatan sejak 1800 SM. Sementara, Kekaisaran Aztec tercatat mendiami Meksiko bagian tengah pada awal abad ke-14. Kala itu, mamey sapote memang menjadi tanaman endemik di Mesoamerika.
Invasi Spanyol ke Meksiko pada abad ke-16 membuat mamey sapote dibudidayakan sampai ke Florida dan Karibia. Hingga kini, buah yang juga dikenal sebagai "Sawo Meksiko" itu mudah ditemukan di sana, bahkan mulai ditanam di Australia, Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Dari segi penampilan, buah mamey sapote (Pouteria sapota) memiliki kemiripan dengan sawo manila (Manilkara zapota), yang di Jawa kerap disebut sawo kecik. Keduanya memang masih kerabat. Namun, mamey sapote berukuran jauh lebih besar, sekitar 5-10 kali lipat dari sawo kecik.
Sebagai gambaran, sawo berukuran panjang 3-6 sentimeter atau sebesar telur ayam, sedangkan mamey sapote memiliki panjang rata-rata 15-30 sentimeter; bentuknya bulat hingga lonjong sebesar bola sepak. Hm, jauh berbeda, bukan?
Oya, kata "sapote" bermakna "buah lunak". Ini sesuai dengan tekstur buahnya yang memang lembut laiknya sawo. Saat dibelah, buah ini mirip alpukat dengan satu biji besar berwarna hitam mengilat di tengahnya, tapi berwarna orange kemerahan serupa aprikot. Rasanya manis seperti sawo kecik.
Di negeri asalnya, mamey sapote populer diolah menjadi selai, milk shake, smoothie, es krim, dan makanan penutup lain. Sementara, di Indonesia buah ini umumnya hanya dikonsumsi segar, karena banyak orang belum familiar dengan rasa buah yang beratnya bisa mencapai tiga kilogram tersebut.
Mulai Dilirik Petani
Pembudi daya mamey sapote asal Kota Semarang Nanad Tri Yunadi Putra mengatakan, buah berkulit kasar berwarna cokelat ini sejatinya sudah mulai dibudidayakan di Indonesia sejak dua dekade silam. Sepenuturan Nanad, begitu dia biasa disapa, buah ini dibawa seorang WNA bernama Jack.
Ditemui di toko bibit buahnya yang berlokasi di daerah Mijen, Nanad nggak menjelaskan lebih detail tentang Jack. Dia hanya mengatakan, bule asal Amerika itu beristrikan orang Indonesia.
“Semula Jack hanya budi daya mandiri, nggak nge-share ke orang lain. Namun, lama-lama dia pengin jual bibitnya. Dijuallah bibit itu ke orang Indonesia,” terang lelaki yang gemar bertopi tersebut, dua hari menjelang perayaan Tahun Baru Imlek 2022 lalu.
Penjualan pertama itu rupanya mendapat respons positif dari para kolektor tumbuhan eksotis di Tanah Air, lalu ditanam di daerah mereka masing-masing. Dari situlah mamey sapote mulai menyebar ke pelbagai wilayah di Indonesia.
Kabar tentang buah "sawo raksasa" itu pun terdengar Nanad pada 2014 silam. Dia tahu dari seorang kawan di Semarang bernama Ismanto. Dari Ismanto pulalah Nanad mendapatkan bibit mamey sapote pertamanya.
Alih-alih ditanam di Semarang, Nanad memutuskan untuk membawa bibit itu pulang ke kampung halamannya di Sragen, lalu dirawat di sana. Sekitar 2-3 tahun menanti, mamey sapotenya mulai berbuah. Dia senang dan semakin termotivasi untuk mengenal lebih dalam tanaman tersebut.
Merasa berhasil menumbuhkan mamey sapote di Sragen, barulah Nanad memutuskan untuk mencoba budi daya buah tropis yang paling pas tumbuh di dataran rendah tersebut ke Kota Lunpia. Semula, alasannya hanyalah agar buah tersebut lebih dikenal orang.
“Saya bawa (ke Semarang) untuk dibudidayakan lagi. Saya pengin orang-orang lebih mengenal buah ini (mamey sapote),” terang pemuda yang sejak kecil memang punya hobi bertanam tersebut.
Banyak Varietas
Semakin mendalami budi daya mamey sapote, Nanad kian mengetahui bahwa mamey sapote memiliki banyak varietas. Di Indonesia, varietas yang paling umum antara lain Sanur, Magana, Havana, Lorito, Super-red, Emiliodure, dan Keywest Buah Bulat.
Secara keseluruhan, varietas mamey sapote tersebut memiliki kemiripan bentuk, tekstur, dan rasa. Masyarakat awam akan sulit mengenalinya, karena perbedaan hanya berkutat pada bentuk yang lebih lonjong, warna daging yang lebih terang, atau tekstur yang lebih halus.
Namun, bagi kolektor, Nanad membeberkan, selalu ada varietas yang lebih banyak dicari ketimbang lainnya. Untuk saat ini, lanjutnya, varietas yang paling banyak dicari adalah jenis sanur dan keywest.
“Iya, yang jadi incaran, pertama adalah sanur. Paling enak. Kedua, jenis keywest,” serunya singkat.
Mamey sapote di Indonesia rata-rata dijual satuan dengan harga antara Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu per buah. Buah tersebut dijual segar dalam bentuk buah utuh, tanpa dikupas. Biasanya, saat dipetik mamey sapote masih keras, jadi tunggulah beberapa hari pascapetik agar dagingnya masak dan lunak.
Sejauh ini belum banyak olahan buah yang kaya serat tersebut di negeri ini. Padahal, mamey sapote lebih banyak disajikan sebagai dessert topping atau pudding dressing ketimbang dimakan segar di kalangan masyarakat keturunan Hispanik di Amerika.
Rasanya yang manis dominan; mirip sawo, tapi dengan cita rasa tambahan berupa perpaduan labu dan ubi; juga membuat mamey sapote sering dijadikan sebagai bahan utama untuk resep minuman dingin seperti es krim, smoothie, dan milkshake, saat musim panas di Spanyol. Hm, yummy!
Oya, sedikit catatan, rasa mamey sapote jauh lebih manis ketimbang sawo kecik. Terus, buah ini juga hanya bisa bertahan beberapa hari setelah dikupas. Maka, mengingat harganya yang mahal, jangan makan sendirian ya. Ajaklah kawan-kawanmu untuk menghabiskannya! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)