Inibaru.id - Beberapa waktu lalu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Tjitjik Sri Tjahjandarie mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Dia menyebut bahwa kuliah sebagai kebutuhan tersier alias nggak wajib saat merespons kenaikan uang kuliah UKT di sejumlah perguruan tinggi.
Hm, meski kita mungkin nggak sepakat dengan itu, namun pernyataan Tjitjik tersebut menggambarkan bahwa pendidikan di jenjang perguruan tinggi di Indonesia itu biayanya mahal dan nggak terjangkau oleh kalangan kelas bawah. Tentu ini fakta yang menyakitkan ya, Millens?
Tapi, tahukah kamu jika nggak semua kampus menerapkan biaya yang mencekik mahasiswanya? Universitas Muhammadiyah Maumere salah satunya. Kampus yang terletak di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur itu memperbolehkan mahasiswanya yang kurang mampu membayar uang kuliah menggunakan hasil bumi seperti pisang, singkong, ubi, kemiri, kelapa, coklat, sampai ikan laut.
Kebijakan itu ditempuh sebagai upaya untuk mengatasi kendala ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat setempat sekaligus mencerminkan fleksibilitas dan perhatian pihak kampus terhadap kondisi sosial-ekonomi mahasiswanya. FYI, di sana banyak mahasiswa yang merupakan anak petani dan nelayan.
Nggak hanya itu, mahasiswa juga dimudahkan dengan biaya kuliah yang terjangkau dan skema pembayaran yang fleksibel. Mahasiswa dapat memilih untuk membayar biaya kuliah dengan cicilan tanpa bunga hingga enam tahun, yang memudahkan mereka menyelesaikan studi tanpa tekanan finansial.
Rektor UM Maumere Erwin Prasetyo menjelaskan, “Kampus Muhammadiyah Maumere uang kuliahnya murah dan bisa diangsur. Malah sekarang kami ada skema kuliah 4 tahun dicicil bisa sampai 6 tahun. Daripada cicil lewat bank ada bunganya, cicil lewat kampus tanpa bunga”.
Sejak Awal Pandemi
Kebijakan membolehkan mahasiswa kurang mampu membayar dengan hasil bumi kali pertama dilakukan pada 2018. Rektor UM Maumere menceritakan dulu ada seorang mahasiswi yang nggak sanggup membayar biaya semester yang dicicil secara tiga tahap. Mahasiswi ini memiliki tunggakan sebesar Rp1 juta.
"Waktu itu saya masih wakil rektor 1. Dia datang, sampaikan kendala," ceritanya.
Mahasiswi tersebut berkeluh kesah menyampaikan nggak bisa membayar uang semesteran kuliah karena hasil bumi di kampungnya seperti pisang dan kelapa, sudah panen tapi belum ada yang beli. Universitas pada saat itu merekomendasikan mahasiswi ini untuk membawa hasil bumi dari kampungnya ke kampus.
Jadi kami bantu memasarkan ke jaringan dosen dan sebagainya. Ada yang punya kenalan keluarganya usaha. Nah, kami jualkan pisang dan kelapa. Itu hanya membantu ya. Jadi ada alternatif pembayaran," katanya.
Dari itulah UM Maumere kemudian membuat kebijakan membolehkan mahasiswa membawa hasil bumi untuk dibantujualkan oleh pihak kampus apabila nggak memiliki uang tunai saat bayar semesteran.
"Jadi kami menyesuaikan saja. Misal, mahasiswa ini punya tunggakan per bulannya Rp 200 ribu, maka dia bisa membawa hasil bumi bahkan ikan tangkapan seharga Rp200 ribu itu. Jadi kami bantu pasarkan," ujar Erwin.
Erwin mengatakan untuk tetap terus menjaga program membantu mahasiswa ini, ke depannya UM Maumere akan membuat satu unit baru: pengelolaan hasil bumi mahasiswa.
"Jadi misalnya ada yang bawa kelapa atau pisang, bagaimana supaya pasarnya lebih luas maka nanti akan kami kelola misalnya jadi keripik. Atau ikan misalnya supaya nggak cepat busuk maka akan dikelola menjadi olahan makanan. Jadi seperti itu. Semacam UMKM," kata dia.
Wah, kampus yang dulu bernama IKIP Muhammadiyah Maumere ini keren banget ya, Millens? Dari kampus ini kita sekaligus perguruan tinggi lainnya bisa belajar bagaimana sebuah kampus bisa berkontribusi pada pembangunan daerah melalui pendidikan. (Siti Khatijah/E07)