Inibaru.id – Dalam beberapa bulan belakangan, pembahasan tentang uang kuliah tunggal (UKT) mahal di berbagai perguruan tinggi di Indonesia viral di media sosial. Banyak mahasiswa yang bahkan mengaku kesulitan untuk membayar UKT mahal tersebut hingga sampai terpikir untuk nggak melanjutkan kuliah.
Kenaikan UKT di perguruan tinggi tentu jadi mimpi buruk bagi banyak generasi muda di Tanah Air yang pengin mengenyam pendidikan lebih baik demi memperbaiki taraf hidup. Sayangnya, bukannya wacana untuk membuat biaya pendidikan di universitas jadi lebih terjangkau, belakangan ini yang muncul justru wacana menyediakan student loan alias pinjaman uang kuliah bagi mahasiswa yang bisa dibayarkan saat mereka sudah bekerja nantinya.
Hal inilah yang diungkap oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat berdiskusi dengan pelaku jasa keuangan beberapa waktu lalu.
“Skema pinjaman pendidikannya ya yang student friendly. Jadi bisa dibayar kalau si anak sudah kerja. Skema ini di luar negeri sudah banyak dan kami harap nggak memberatkan,” ungkap Kepala eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi sebagaimana dilansir dari Kompas, Senin (20/5/2024).
Sebenarnya, student loan ini bukan hal baru di Indonesia. Pada 1980-an, kredit pinjaman mahasiswa pernah digelar oleh Kementerian Pendidikan. Tapi, sistem ini dianggap gagal sehingga nggak diteruskan. Hal ini bahkan diakui oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada periode 2014-2019, M. Nasir.
“Dulu rata-rata banyak yang nggak bayar. Meski ijazahnya ditahan, mereka hanya butuh fotokopi ijazah yang dilegalisir untuk berbagai kebutuhan,” ungkap Nasir menceritakan pengalamannya sebagai salah seorang pengguna kredit pinjaman mahasiswa selama kuliah sebagaimana dilansir dari Vice, (21/3/2018).
Selain memungkinkan adanya kredit macet, pakar ekonomi Rista Zwestika mengungkap jika ide memberikan student loan, khususnya bagi mahasiswa kalangan menengah ke bawah bukanlah ide yang tepat.
“Memang jika UKT mahal, banyak mahasiswa yang nantinya mempertimbangkan student loan sebagai solusi untuk biaya pendidikannya. Sayangnya, hal ini berarti mereka mengambil risiko dan konsekuensi besar dalam hidupnya. Kalau nggak diselesaikan sesegera mungkin, bisa merusak riwayat kredit dan akhirnya berimbas pada mereka akan sulit dapat pekerjaan, membeli rumah, atau bahkan menikah,” ujarnya sebagaimana dilansir dari Suara, Sabtu (18/5/2024).
Apa yang diungkap Rista ada benarnya. Alih-alih menawarkan student loan sebagai solusi mahal, seharusnya yang jadi patokan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pada aturan itu, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga perguruan tinggi diwajibkan untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
Apalagi, di negara-negara seperti Amerika Serikat, banyak mantan mahasiswa yang terjerat student loan hingga belasan atau puluhan tahun. Bukannya mampu membangun kehidupan lebih baik setelah kuliah, mereka justru harus menjalani kehidupan yang berat untuk melunasinya.
Artinya, semua pihak sebaiknya mencari solusi untuk menurunkan UKT mahal dan memastikan biaya kuliah harus bisa dijangkau semua pihak, termasuk kalangan menengah dan bawah yang pengin memperbaiki kehidupannya. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E05)