Inibaru.id - KH. Muhammad Khuswanto ingat betul dulu anak-anak yang besar di Kampung Perbalan, Kecamatan Purwosari, Semarang Utara dulunya dicap sebagai preman. Citra buruk tersebut membuat anak-anak muda di Kampung Perbalan saat itu kesulitan mencari pekerjaan dan jodoh.
Dekade 1980-an, aksi tawuran, judi, mabuk-mabukan, pencurian, pelacuran dan masalah kriminal lainnya adalah pemandangan sehari-hari yang selalu tersaji di Kampung Perbalan. Jadi,nggak salah jika masyarakat Kota Semarang menyematkan pandangan buruk pada warga Perbalan.
"Saya pengin mengubah diskriminasi terhadap orang-orang yang tinggal di Kampung Perbalan. Saya akui, jangankan mobil, jemuran yang ditaruh di depan pasti hilang," ucap lelaki yang akrab disapa Gus Tanto saat mengingat masa lalu Kampung Perbalan.
Pengalaman Buruk
Dilahirkan di daerah yang dikenal sebagai salah satu sarang penyamun Kota Semarang membuat Gus Tanto nggak nyaman. Pasalnya ketika dia mengenyam bangku sekolah, guru dan teman-temannya banyak yang memandang sinis.
"Pas waktu perkenalan di sekolah suka ditanya guru. Nama kamu siapa? Asal dari mana? Pas saya jawab dari Perbalan, muka guru itu kelihatan nggak suka dan menganggap saya ini berandalan," kenang Gus Tanto.
Diskriminasi terhadap orang-orang Perbalan nggak hanya terjadi lingkungan pendidikan saja. Gus Tanto mengaku pernah dirundung anggota kepolisian ketika dirinya hendak membuat surat kelakuan baik untuk melamar pekerjaan.
"Untuk apa bikin surat kelakuan baik? Orang kamu preman. Nggak pantas!" kenang Gus Tanto.
"Itu baru omongan polisi. Beberapa kali interview kerja dan mereka tau saya dari Perbalan, saya nggak pernah dipanggil lagi. Kampung Perbalan seperti diblacklist."
Diperlakukan seperti itu membuat Gus Tanto resah. Dia nggak ingin generasi mendatang turut mewarisi citra buruk yang telah diperbuat orang tua terdahulu. Kemudian Gus Tanto memutuskan untuk menyadarkan orang-orang agar nggak berurusan dengan masalah kriminal.
Diakuinya, kejahatan nggak bisa diubah, tapi bisa dikurangi. Gus Tanto pun kemudian memutuskan untuk bergaul dengan kalangan preman. Misinya untuk menyadarkan mereka dengan pendekatan tanpa mendikte dan menggurui.
"Jadi pas kumpul saya berusaha memberi contoh sikap yang baik di depan mereka. Misal, 'sebentar friend saya salat dulu'. Lama-kelamaan mereka ada yang nitip salam dan ada yang ikut juga," papar Gus Tanto.
Bangun Pesantren
Nggak sekadar memberikan contoh baik, Gus Tanto akhirnya membangun Pondok Pesantren Istighfar Tombo Ati. Meski namanya pondok pesantren, tujuan Gus Tanto mendirikan itu untuk dijadikan tempat berkumpul kawan-kawan di jalanan, pasar dan terminal.
"Misi utamanya tempat buat kumpul yang menjurumus hal positif saaja. Saya juga nggak terlalu memaksa mereka. Misal, pas Yasinan ada dari mereka yang masih mabuk-mabukkan, saya biarkan," ungkap Gus Tanto.
Istigfar Tombo Ati bukan nama yang diambil begitu saja. Kata 'istigfar' diambil guna mengingat bahwa sifat manusia itu nggak pernah luput dari kesalahaan.
"Kalau kamu ke sini, mau nggak mau harus merenungi kesalahan dan beristighfar. Sebab jarang sekali orang yang mengakui kesalahan," cerita Gus Tanto.
Berkat kegigihan Gus Tanto, segala bentuk kejahatan di Kampung Perbalan dari tahun ke tahun semakin berkurang. Orang-orang yang dulu suka berurusan dengan kriminal mulai sadar dan bertaubat di Ponpes Istighfar.
"Mayoritas santri saya dulunya tukang palak, begal, rampok, suka tawuran, narkoba dan ada satu yang terlibat kasus pembunuhan. Sekarang mereka udah taubat. Kalau secara umum mungkin dapat hidayah. Tapi menurut saya, mereka merasa hidupnya udah nggak nyaman," terang Gus Tanto.
Sungguh berat dan terjal perjuangan Gus Tanto ini. Tanpa dia, mungkin Kampung Perbalan masih dicap sebagai daerah hitam di Kota Semarang. (Fitroh Nurikhsan/E10)