Inibaru.id - Sehari sebelum peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak pada 12 Juni lalu, dua organisasi PBB yang mengurusi perburuhan (ILO) dan anak (Unicef) menyatakan, upaya untuk menghapus pekerja anak di dunia masih jauh panggang dari api.
Hal ini nggak lepas dari laporan mereka tentang “Child Labour: Global estimates 2024, trends and the road forward" yang menyatakan bahwa target untuk menghapus pekerja anak belum tercapai. Per 2024, masih terdapat 138 juta anak tercatat sebagai pekerja, dengan 54 juta di antaranya pada sektor yang berbahaya.
Alasannya bermacam-macam. Yang pertama adalah kemiskinan yang membuat pendapatan keluarga terlalu rendah sehingga kontribusi anak dianggap vital. Lainnya adalah karena kesulitan anak mengakses sekolah, baik dari segi kualitas, biaya, hingga jarak tempuh hingga membuat mereka memilih bekerja.
Data ini bersifat global, dengan Afrika menanggung beban terbesar hingga 87 juta pekerja di bawah umur, sementara sisanya tersebar di Amerika Latin, Eropa, dan Asia. Bicara tentang Asia, Indonesia juga termasuk negara yang berkontribusi di dalamnya.
Keharusan Membantu Orang Tua
Naufal Hakimi nggak menampik kenyataan ini. Saat menjadi seorang guru sukarelawan di sebuah SD di desa yang berlokasi di lereng gunung di Jateng, dia mengatakan sering menjumpai kelasnya sepi, terutama pada musim panen tembakau.
"Banyak (siswa) yang nggak masuk karena membantu orang tuanya panen. Ini sudah menjadi kebiasaan di desa itu, jadi mau nggak mau saya mafhum," terang lelaki yang sekarang berdomisili di Kota Semarang tersebut, Senin (16/6/2025).
Tiga tahun bekerja di SD itu, Naufal juga menyadari bahwa nggak sedikit siswa yang pada memilih berhenti di tengah jalan. Nggak lulus. Biasanya mereka memilih bekerja, entah menjadi buruh, ikut merantau bersama kakaknya yang sudah berangkat ke kota besar lebih dulu, atau bikin usaha sendiri di rumah.
"Saya pikir anak berhenti sekolah di tengah jalan cuma ada pada masa saya masih SD dulu, ternyata sampai sekarang juga masih ada," keluhnya.
Mereka yang Tak Punya Pilihan
Sejalan dengan data ILO dan Unicef, upaya menghapus pekerja anak di Indonesia juga seolah berjalan di tempat. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, per 2024, sebanyak 1,27 juta anak Indonesia tercatat masih bekerja. Angka ini naik dari 1,01 juta anak pada tahun sebelumnya.
Angka ini senilai dengan 2,17 persen dari keseluruhan anak usia 5-17 tahun di Indonesia. Terlihat kecil? Namun, hal ini nggak mengubah fakta bahwa upaya menjauhkan anak dari "kewajiban" untuk membantu dapur orang tua agar tetap mengepul dengan menghilangkan masa kecilnya lebih cepat masih sulit dilakukan.
Berdasarkan data BPS itu, pekerja anak terbanyak tinggal di perdesaan. Persentasenya sekitar 2,82 persen; dua kali lipat dibanding perkotaan (1,72 persen). Pekerjaan mereka bermacam-macam, mulai dari buruh tani, pekerja di kebun, penjaga warung milik orang tua, atau sebagai buruh kasar di pasar tradisional.
“Gejolak ekonomi sering memaksa keluarga mengirim anak-anak mereka bekerja,” ungkap Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam sebuah wawancara pada 16 Maret 2025 lalu.
Kebutuhan Harian Menuntut Tenaga Tambahan
Kemiskinan struktural masih menjadi biang kerok yang sulit dibongkar terkait hal ini. Pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran Prof Nunung Nurwati mengatakan, banyak keluarga yang dipenuhi dilema. Satu sisi, mereka menginginkan anaknya bersekolah, tapi kebutuhan harian menuntut tenaga tambahan.
“Lingkungan harus tercipta secara kondusif sehingga anak bisa mengaktualisasikan dirinya. Pendidikan juga harus terjangkau,” terangnya pada 23 Maret lalu.
Sayangnya, kondisi ideal itu masih sulit dicapai. Banyak sekolah di daerah terpencil belum memadai, akses jalan susah, biaya penunjang sekolah mahal; lengkap sudah alasannya.
Di atas kertas, Indonesia punya payung hukum, yakni: Undang-Undang Perlindungan Anak dan ratifikasi Konvensi ILO tentang Penghapusan Bentuk Pekerja Anak Terburuk. Namun, implementasinya masih jadi pekerjaan rumah bersama.
“Peningkatan pekerja anak ini jadi indikator bahwa sistem perlindungan harus terus diperkuat,” kata Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kemen-PPPA pada 7 Januari 2024 lalu.
Jalan Akhir Masih Panjang
Hal senada diungkap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang mengakui besarnya tantangan untuk membebaskan jutaan anak dari dunia kerja informal.
“Satu juta lebih anak Indonesia harus dikeluarkan dari dunia kerja. Kami perlu komitmen dan kerja bersama lintas sektor,” ujar Ida, dikutip dari Kompas (23/7/2024).
Pekerja anak adalah cermin rapuhnya benteng perlindungan sosial keluarga rentan. Naiknya angka pekerja anak menegaskan satu hal: memutus rantai kemiskinan butuh lebih dari sekadar slogan. Hari ini, di sudut-sudut desa, ladang, pasar, atau jalanan kota kecil, jutaan anak masih memanggul beban orang dewasa.
Hari ini, jutaan anak menggadaikan mimpinya demi sesuap nasi untuk keluarga. Butuh tindakan nyata agar mereka bisa kembali ke bangku sekolah. Tanpa upaya memperkuat jaminan sosial dan akses pendidikan, kita tahu ke mana grafik pekerja anak ini akan mengarah. (Siti Khatijah/E07)
