Inibaru.id – Jika bicara tentang Yogyakarta, yang langsung terpikir biasanya adalah wisata urban yang menyenangkan, budaya dan tradisi yang kuat, hingga kuliner yang menggoda. Tapi, di balik gemerlapnya Yogyakarta bagi para wisatawan, ada sisi gelap yang jelas terpampang, yaitu keberadaan Sarkem.
Sarkem adalah singkatan dari Pasar Kembang. Plang nama Jalan Pasar Kembang bahkan bisa dengan mudah kamu lihat di ujung utara Jalan Malioboro, tepatnya di seberang Stasiun Tugu. Kalau kamu masih bingung dengan apa itu Sarkem, tempat tersebut dikenal sebagai salah satu kawasan prostitusi tertua di Indonesia.
Lokasi pasti Sarkem memang cukup tersembunyi karena ada di gang-gang sempit yang ada di Jalan Pasar Kembang. Tapi, bukan berarti semua gang adalah lokasi prostitusi. Gang 1 dan 2 dikenal sebagai Kampung Sosrowijayan Wetan yang populer di kalangan backpacker karena ada banyak penginapan murah. Nah, di Gang 3 atau Sosrowujayan Kulon-lah, prostitusi Sarkem eksis.
Dilansir dari Detik, Jumat (20/6/2014), nama Pasar Kembang berasal dari lokasi jualan pedagang bunga yang dulu memenuhi sisi selatan Stasiun Tugu. Kini, para pedagang ini sudah pindah ke Jalan Ahmad Jazuli di kawasan Kotabaru.
Tapi, sejarah prostitusi di Sarkem muncul jauh lebih lama dari saat pedagang bunga masih eksis di sana. Bahkan, sejumlah sejarawan menyebut Sarkem sudah eksis sejak Belanda masih mengusai Nusantara, Millens.
Dikutip dari Kumparan (10/9/2019), semua bermula dari kemunculan aturan yang melegalkan prostitusi pada 1852. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda merasa aturan ini perlu diterapkan demi mencegah dampak buruk dari keberadaan publieke vrouwen, istilah bagi pekerja seks komersial pada masa itu. Dengan adanya lokasi prostitusi, maka para PSK bisa didata, dikendalikan, dan pemerintah pun mampu mencegah munculnya sejumlah penyakit menular seperti sifilis.
Meski begitu, kemunculan kawasan prostitusi di Pasar Kembang lebih dipengaruhi oleh pembangunan jalur kereta api yang cukup masif di Pulau Jawa pada akhir abad ke-19, tepatnya sejak 1884. Saat itu, lokasi prostitusi di Yogyakarta ini lebih populer dengan nama ‘Balokan’. Nama ini muncul dari banyaknya tumpukan balok kayu jati yang dipakai sebagai bantalan rel kereta api. Di tempat itulah, banyak pekerja proyek pembangunan jalur kereta api mencari ‘hiburan’.
Setelah jalur kereta jadi dan Stasiun Tugu mulai beroperasi pada 12 Mei 1887, banyak pengguna kereta yang membutuhkan tempat istirahat di dekat stasiun. Maka, di area tersebut pun bermunculan tempat-tempat penginapan. Nah, pada 1990-an, barulah nama Pasar Kembang atau Sarkem lebih dikenal sebagai sebutan area tersebut. Alasannya sudah dijabarkan sebelumnya, yaitu kemunculan para penjual bunga.
Menariknya, Sarkem tidak pernah jadi lokalisasi resmi di Yogyakarta. Meski begitu, bukan berarti pemerintah Kota Yogyakarta mengabaikannya.
“Sarkem memang nggak ada legalisasinya. Nggak pernah ada istilah tempat ini dibuka atau ditutup, jalan begitu saja. Meski begitu, kami tetap melakukan kontrol dan perhatian seperti rutin melakukan cek kesehatan terhadap pekerja,” ucap anggota DPRD Kota Yogyakarta Ipung Purwandari sebagaimana dilansir dari Mojok, (24/9/2022).
Meski nggak ada legalisasi, Pemkot bisa dikatakan cukup tenang dengan adanya pusat prostitusi di Sarkem. Pasalnya, di tempat ini, kontrol bisa dilakukan sehingga prostitusi dan dampak buruknya bisa ditahan agar tidak menyebar.
“Jadi tersentralisasi. Kalau bubar, nanti bisa ke mana-mana bahayanya,” lanjut Ipung.
Kalau menurutmu, Sarkem harusnya ditutup atau dibiarkan saja, Millens? (Arie Widodo/E05)