Inibaru.id - Beberapa tahun belakangan, citra lelaki mulai bergeser. Bukan lagi lelaki pendiam, dingin, dan super maskulin yang jadi idaman. Kini, banyak yang justru tertarik dengan kaum adam yang terlihat emosional, doyan introspeksi, dan “melek” isu feminisme. Tapi, benarkah mereka sungguh seperti itu? Atau hanya sekadar tampilannya saja?
Istilah performative male, atau lelaki performatif sedang jadi bahan omongan di medsos. Bahkan, akhir pekan lalu di Jakarta, sempat digelar kompetisi khusus untuk mencari siapa lelaki paling performatif atau yang paling “tampak sadar” secara emosional dan sosial.
Eits, tunggu dulu. Lelaki performatif ini bukan tipikal cowok kaus lusuh dan celana kargo yang nongkrong sambil ngegame. Mereka ini tipe yang bawa tote bag, ngopi matcha latte, dan baca buku karya Virginia Woolf atau Simone de Beauvoir. Ngomongin zodiak juga jago. Sekilas, mereka terlihat keren, peduli kesehatan mental, dan jauh dari toxic masculinity.
Padahal, bisa jadi semua itu hanya bungkus luar.
Tampilannya Saja, Isinya?
Menurut laporan Stuff, istilah performative male merujuk pada lelaki yang kelihatan progresif dan sensitif, tapi cuma untuk pencitraan. Mereka bahas soal kesehatan mental dan feminisme, bukan karena paham atau peduli, tapi biar kelihatan menarik dan diterima perempuan modern.
Sekilas, ini kayak kemajuan. Tapi kalau ternyata cuma topeng buat dapet validasi dan atensi, apa bedanya dari lelaki manipulatif bergaya lama?
Mereka bisa tampak lembut, suka ngomongin luka batin, tapi hilang saat diminta bertanggung jawab. Kalau dikritik, bawa-bawa narasi sebagai korban, bukan pelaku.
Mereka bukan hadir untuk bangun koneksi nyata, tapi biar terlihat sebagai lelaki yang ‘dewasa secara emosional’.
Media Sosial dan Lelaki Estetik
Fenomena lelaki performatif ini tumbuh subur di media sosial. Di era ketika semua hal bisa jadi konten, self-awareness pun jadi mata uang sosial.
Unggahan healing, carousel estetik berisi kutipan introspeksi, sampai narasi tentang trauma masa kecil dibagikan bukan untuk sembuh, tapi demi ‘like’ dan validasi. Platform kayak TikTok dan Instagram jadi panggung utama. Banyak lelaki Gen Z mulai mempresentasikan diri sebagai sosok artsy, lembut, dan sadar sosial. Tapi ya itu; di depan umum.
Yang sering kali terjadi: tampilannya cakep, nilainya kosong.
Jadi, salahkah menjadi lelaki performatif?
Sebenarnya, nggak ada yang salah dari lelaki yang nyaman dengan sisi feminimnya, punya empati, dan peduli pada kesehatan mental. Dunia memang butuh lebih banyak lelaki seperti ini.
Yang jadi soal adalah saat itu semua cuma jadi ‘peran’ yang dimainkan untuk kepentingan citra dan ego. Bukan benar-benar nilai yang diyakini dan dijalani.
Kalau kamu sendiri, pernah ketemu lelaki model begini? Atau… jangan-jangan kamu juga pernah jadi satu di antaranya, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
