inibaru indonesia logo
Beranda
Hits
Jurnalis Perempuan Soroti Media yang Tidak Sensitif Gender
Sabtu, 23 Des 2023 14:00
Penulis:
Bagikan:
Diskusi dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di kantor sekretariat AJI Semarang, diikuti jaringan jurnalis perempuan dan lembaga pers mahasiswa. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Diskusi dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di kantor sekretariat AJI Semarang, diikuti jaringan jurnalis perempuan dan lembaga pers mahasiswa. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Sejumlah jurnalis perempuan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) beberapa waktu lalu menggelar diskusi membahas mengenai persoalan di lingkungan kerja, mulai dari pemenuhan hak, perlindungan, dan pengalaman kekerasan seksual.

Inibaru.id - Sekumpulan jaringan jurnalis perempuan dan lembaga pers mahasiswa (LPM) di Semarang menyoroti media berita yang tidak memiliki sensitivitas gender. Akibat minimnya pengetahuan itu berimbas pada produk informasi yang dapat merugikan sebagian kalangan dan minoritas gender.

Sub Bidang Pengaduan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Dyah Ayu Pitaloka menyebut, secara umum di ruang redaksi hak bekerja masih mengalami ketimpangan. Pada bagian posisi keredaksian perempuan tidak memiliki panggung yang leluasa dan kalah karena kepentingan maupun pemahaman maskulin yang melekat dalam pekerjaan.

"Sebagian besar di ruang redaksi dalam jajaran kepemimpinan paling banyak laki-laki. Pemred perempuan jumlahnya sedikit. Dalam grup Whatsapp yang isinya grup redaktur, jumlah perempuan hanya belasan," katanya.

Padahal, terlepas dari kodrat perempuan, dalam pekerjaan, perempuan berhak mendapatkan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Tentunya ini tidak terlepas dari pemenuhan hak-haknya dalam bekerja.

Menurutnya media yang tidak sensitif gender mempengaruhi produksi berita. Informasi yang diterbitkan justru dapat memperkeruh keadaan dan merugikan kelompok tertentu. Anomali masyarakat menjadi semakin berkembang dan diyakini begitu saja.

"Ketidakadilan gender itu justru menempatkan korban berkali-kali karena ruang redaksi reporternya yang tidak sensitif gender," paparnya.

Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Sub Bidang Pengaduan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Dyah Ayu Pitaloka diundang dalam forum diskusi kampanye 16 HAKTP di Semarang. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)
Sub Bidang Pengaduan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Dyah Ayu Pitaloka diundang dalam forum diskusi kampanye 16 HAKTP di Semarang. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Berdasarkan hasil riset terbaru AJI Indonesia bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan didukung International Media Support (IMS), terdapat 82,6 persen jurnalis perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual, baik berbentuk verbal maupun nonverbal.

Sayangnya banyak korban yang awal mulanya justru tidak menyadari kondisi tersebut. Minimnya pengetahuan jurnalis, membuat mereka tidak memiliki bekal untuk melindungi diri.

“Kalau kita jadi korban, kita act knowledge terlebih dahulu. Oh ini kekerasan seksual dengan cara validasi kondisi kita. Kita berhak marah dan sedih. Setelah itu kita bisa menghindari, mencegah dan melakukan langkah lain yang dibutuhkan,“ jelas Dyah.

Oleh karena itu, jurnalis perempuan harus berserikat untuk meningkatkan pemahaman dan melindungi satu sama lain. Pemahaman ini tentunya hanya dilakukan oleh perempuan saja tapi juga didukung peran laki-laki.

Adanya Advokasi

Peserta diskusi yang terdiri atas jaringan jurnalis perempuan dan lembaga pers mahasiswa menyampaikan pendapat dan berbagi pengalaman mereka saat melakukan kerja-kerja jurnalis. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)
Peserta diskusi yang terdiri atas jaringan jurnalis perempuan dan lembaga pers mahasiswa menyampaikan pendapat dan berbagi pengalaman mereka saat melakukan kerja-kerja jurnalis. (Inibaru.id/ Ayu Sasmita)

Agar tak banyak lagi kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan, AJI Indonesia menyediakan advokasi bagi jurnalis perempuan yang menginginkan pendampingan hukum dan konsultasi dalam membantu mengatasi masalah ini. Caranya, jurnalis perempuan bisa mengakses informasi dengan cara melapor.

Sementara itu, Dewan Pers sedang menggodok tentang bagaimana setiap perusahaan media hendaknya memiliki standar operasional (SOP) dalam penanganan kekerasan seksual baik di lingkup redaksi, maupun di luar redaksi.

"Harapannya dengan penanganan kekerasan seksual ini kesadaran gender akan muncul. Dampaknya kantor media memperlakukan pekerja perempuan dengan baik dan kultur yang ada jadi lebih ramah terhadap kondisi perempuan seperti menstruasi, melahirkan, dan lain-lain" pungkasnya.

Ya, perempuan boleh menyandang profesi apa pun termasuk jurnalis dan mendapatkan perlindungan dari segala bentuk ancaman. Semoga semakin banyak pihak yang paham akan pentingnya memperlakukan perempuan dengan adil dan bermartabat. (Ayu Sasmita/E10)

Komentar

OSC MEDCOM
inibaru indonesia logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Social Media

Copyright © 2024 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved