Inibaru.id - Hingga saat ini, sudah ada bakal calon presiden dan wakil presiden yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengikuti kontestasi Pemilu 2024. Itu artinya pesta demokarasi yang berlangsung lima tahun sekali di negeri kita sudah hampir tiba, Millens.
Dalam masa-masa menjelang pemilihan umum tersebut, kita semua pasti akan banyak mendengar visi misi, program, proyeksi, bahkan janji manis dari para pasangan calon presiden dan wakilnya. Semua itu mudah kita temukan di acara debat televisi, media sosial, poster-poster pinggir jalan, dan pesan dalam grup percakapan di ponselmu.
Sebagai masyarakat yang sudah berkali-kali mengalami pemilu, pasti kita sudah tahu atau minimal percaya siapa politikus yang bisa mewujudkan janji-janjinya semasa kampanye dan siapa yang berpotensi berbohong. Tapi, tahukah kamu, ternyata politikus yang sudah terbukti berbohong tetap saja bisa memperoleh suara yang banyak dari pemilih, lo.
Hhmm, aggap saja kita nggak sedang berbicara tentang kondisi politik di Indonesia. Mari kita simak sebuah studi yang mengamati situasi pemilihan umum di Amerika sewaktu Donald Trump terpilih menjadi presiden.
Menukil dari Cnnindonesia Jumat (20/10), Tim Cek Fakta The Washington Post menemukan Presiden Donald Trump sebagai pemenang di Pilpres AS 2016 melakukan 30.573 kebohongan selama masa kepresidenannya, dengan rata-rata sekitar 21 klaim yang salah per hari.
Sebagai catatan, dia membuat 492 klaim yang mencurigakan dalam 100 hari pertama masa kepresidenan dan membuat 503 klaim palsu khusus pada 2 November 2020, sehari sebelum pencoblosan Pilpres AS 2020, dalam upayanya memenangkan kembali pemilu.
Kebohongan Disukai Masyarakat
Studi Profesor Psikologi Kognitif Ullrich Ecker dan Postdoctoral research associate Toby Prike dari The University of Western Australia yang terbit di jurnal The Royal Society 2017 menunjukkan kepada responden di AS soal kebohongan (dan pernyataan benar) yang dibuat Trump menjelang pemilihan presiden 2016. Rupanya Trump tetap memiliki suara.
"Meskipun pemeriksaan fakta menyebabkan berkurangnya kepercayaan terhadap klaim yang tidak akurat itu, hal ini tidak berarti niat memilih di kalangan pendukung Trump berkurang," tuturnya.
Menurut kamu, kenapa Donald Trump yang sudah jelas-jelas melakukan banyak kebohongan tetap dicoblos oleh masyarakat? Inilah jawabannya. Terpisah, peneliti psikologi Bella DePaulo dari University of California menyebut kebohongan dari politikus dianggap benar karena hal tersebut adalah yang ingin masyarakat dengar.
"Kebohongan yang kami terima dari para politisi saat ini adalah kebohongan yang dipandang dapat diterima karena itulah yang ingin kami dengar," katanya, dikutip dari AP.
DePaulo menyebut kebohongan akan semakin candu ketika berhasil. Ketika kebohongan berhasil, mereka membuatnya "lebih menggoda untuk berbohong. Kebohongan dapat melekat. Mereka dapat memiliki efek yang bertahan lama, bahkan jika kebohongan itu dibantah."
Wah, sebuah fakta yang mengejutkan ya, Millens? Di Indonesia mungkin nggak cuma satu dua politikus saja yang terpilih kembali menjadi wakil rakyat dan melenggang ke senayan meski terbukti mengingkari janjinya. Benarkah hal itu terjadi karena alasan yang sama: karena masyarakat kita suka dibohongi? Semoga kamu bukan yang termasuk dalam golongan itu ya! (Siti Khatijah/E07)