Inibaru.id – Kalau kamu sering mantengin media sosial TikTok, pasti tahu betul dengan fenomena joget sadbor. Itu lo, joget berjamaah yang dilakukan warga Kampung Margasari, Desa Bojongkembar, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Saking viralnya jogetan ini, setiap kali warga melakukan aksi live di TikTok, per orangnya bisa dapat gift alias saweran ratusan ribu Rupiah per hari, lo!
Pihak yang mengawali joget sadbor di kampung tersebut, Gunawan, mengaku pernah berprofesi sebagai penjahit keliling di Jakarta. Sejak 2020 atau 2021, dia mulai sering melakukan aksi joget-joget live di TikTok dan kemudian menemukan joget ‘ayam patuk’. Tahu bahwa banyak orang memberikan gift kepada akun TikToknya, dia memutuskan untuk pulang kampung dan fokus melakukan live TikTok sembari mengajak teman dan tetangganya.
Baca Juga:
Ekonomi Lesu tapi Tiket Konser Ludes, Apakah Indonesia Diguncang Fenomena 'Lipstick Effect'?Kini, per hari Gunawan bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp400 ribu sampai Rp700 per hari setelah dibagi-bagikan dengan rekan dan tetangganya berkat aksi live di TikTok dari pagi sampai sore tersebut. Penghasilan itu dianggap jauh lebih baik dibandingkan dengan profesi-profesi utama yang sebelumnya dimiliki warga kampung tersebut.
“Setelah sering live, alhamdulillah bisa renovasi (rumah) ini,” terang Gunawan menceritakan keberhasilannya meraup pendapatan besar dari TikTok sebagaimana dinukil dari Tribunnews, Sabtu (26/10/2024).
Layaknya kampung-kampung di Pulau Jawa pada umumnya, Kecamatan Cikembar, Sukabumi juga dikenal sebagai kawasan pertanian. Di sana, ada lebih dari 1.385 hektare lahan sawah. Artinya, sebagian penduduk di sana berprofesi sebagai petani.
Jika merunut data Badan Pusat Statistik pada 2021, pendapatan petani di Indonesia rata-rata hanya Rp5,23 juta per tahun alias Rp 435.833 per bulan. Artinya, pendapatan minimal harian yang didapat Gunawan saja sudah hampir menyamai pendapatan rata-rata petani per bulan di Indonesia! Wajar jika akhirnya warga dan rekan Gunawan yang sebagian berprofesi sebagai petani lebih tergiur melakukan aksi joget live di TikTok yang lebih menghasilkan, bukan?
Masalahnya, pendapatan petani yang nggak menjanjikan ini juga bikin jumlah petani di Indonesia anjlok drastis dalam sedekade terakhir. Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian Setjen DPR RI mencatat jumlah petani di Indonesia berkurang 7,42 persen dari 31,70 juta pada 2013 menjadi tinggal 29.34 juta saja pada akhir 2023 lalu. Jumlah petani milenial yang jadi tulang punggung pertanian sekaligus masa depan di bidang ini juga turun drastis.
“Petani muda dengan usia 35-40 tahun berkurang dalam 10 tahun terakhir. Anak muda cenderung menjauh dari sektor pertanian,” ungkap pengamat pertanian Khudori sebagaimana dinukil dari Rri, Senin (15/1/2024).
Dampak dari hal ini bisa dilihat dari semakin masifnya impor beras ke Indonesia gara-gara petani lokal nggak mampu memenuhi kebutuhan beras nasional. Nggak percaya? Bulog, (3/7) menyebut produksi beras nasional Januari sampai April 2024 lalu saja turun 17,54 persen dibandingkan produksi beras pada periode yang sama setahun sebelumnya.
Wajar jika menjadi konten kreator lebih menjanjikan bagi anak muda, khususnya yang tinggal di kampung-kampung, dibandingkan dengan menjadi petani yang pendapatannya belum pasti. Tapi, bagaimana jika nanti sosial media mencapai titik jenuh dan membuat profesi itu jadi nggak lagi menjanjikan? Sementara kembali mengarap lahan yang terbengkalai bukanlah hal yang tidak mudah untuk dilakukan? Apalagi, belum ada kepastian pula kembali jadi petani bisa memberikan penghasilan yang cukup.
Fenomena joget sabdor memang menarik. Tapi ada baiknya semua pihak, khususnya pemerintah mulai memperhatikan sisi lain dari fenomena ini dan memikirkan solusi agar penghasilan petani di Indonesia lebih menjanjikan.
Bukan soal demi mencegah mereka berubah profesi menjadi konten kreator. Pasalnya, jika nanti petani nggak ada lagi yang tersisa, siapa pula nanti yang bisa menyuplai kebutuhan pangan masyarakat Indonesia yang jumlahnya ratusan juta ini? Tidak mungkin kan pada akhirnya kita mengimpor bahan makanan terus-terusan? (Arie Widodo/E10)