Inibaru.id – Terhitung 12 tahun sudah Asmui, warga Dukuh Pangkalan, Kelurahan Tugu, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, hidup di tengah-tengah banjir. Semakin hari, dia menilai kondisi di tempatnya kian parah; yang puncaknya terjadi pada akhir 2024 hingga awal 2025 ini.
Saat ini, Asmui mengungkapkan, banjir menahun yang terjadi karena arus pasang air laut atau acap disebut rob itu rata-rata mencapai 40-50 sentimeter, meski kadang menyentuh angka 60 sentimeter. Kendati sudah meninggikan rumahnya sebanyak empat kali, air laut tetap saja menggenangi lantai rumahnya.
“Padahal rumah saya posisi paling tinggi, tapi rob bisa masuk setinggi 20 sampai 25 sentimeter; apalagi mereka yang tinggal di selatan, lebih parah lagi!” tutur lelaki yang saat ini menjabat sebagai Ketua RT 1 RW 4 tersebut.
Menurutnya, belakangan ketinggian rob semakin nggak bisa diprediksi. Kenaikannya terjadi antara pukul 17.00-19.00 WIB, lalu surut sekitar pukul 19.30 atau setelah Isya. Namun, kondisi ini bisa berubah-ubah, tergantung kondisi arus laut.
Sebagian Warga Sudah Pindah
Sedikit informasi, rob di wilayah Sayung nggak hanya menggenangi area permukiman warga, tapi juga acap meluber hingga jalan raya. Maka, menjadi pemandangan yang lumrah melihat kemacetan mengular karena banjir di jalan ini atau sepeda motor mogok lantaran kemasukan air.
Kondisi ini tentu saja bikin gelisah dan nggak nyaman bagi warga setempat. Asmui menuturkan, beberapa warganya bahkan sudah ada yang memutuskan untuk hengkang. Sejauh ini sudah ada empat keluarga yang memilih pindah dan membiarkan rumahnya tenggelam.
Mereka yang memilih pergi di antaranya karena nggak mampu lagi membeli tanah padas untuk meninggikan rumah. Lalu, Asmui melanjutkan, ada pula yang sudah punya rumah di tempat lain, sementara rumahnya yang kena rob nggak laku saat dijual.
“Mana mungkin laku, tempatnya saja begitu! Ya sudah, dibiarkan saja seperti itu,” ujarnya.
Bertahan karena Pekerjaan
Asmui mengungkapkan, orang-orang yang memilih tetap tinggal di kawasan banjir biasanya adalah para lansia atau mereka yang belum punya pilihan lain, baik karena keterbatasan ekonomi atau pun ngaboti pekerjaan yang mengharuskan mereka tetap tinggal di situ.
"Di tempat saya, hingga kini terhitung masih ada 73 rumah yang masih ditinggali," terangnya. "Sebagian karena mereka bekerja di sekitar sini juga, jadinya nggak pindah."
Surtini, misalnya, hingga kini memilh bertahan karena anaknya bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan Sayung. Kendati mengaku sudah punya tanah kapling di Kecamatan Mranggen, perempuan 45 tahun ini memilih tetap tinggal bersama anaknya yang belum memungkinkan untuk pindah rumah.
“Kalau mau pindah juga kejauhan, nanti bagaimana untuk biaya sekolah anak-anak, kan?” tukasnya.
Sawah yang Diklaim Lautan
Melihat Sayung yang sekarang membuat Surtini sedih. Dia mengatakan, pernah ada satu masa ketika wilayah tersebut dibentangi area persawahan yang luas. Tanaman padi dan pelbagai palawija tumbuh subur. Produktif. Kebutuhan dan perekonomian masyarakat terpenuhi dari hasil bumi.
"Sekarang semua itu sudah jadi lautan, padahal dulu mau makan pisang kami nggak pernah beli. Seingat saya, panen pisang terakhir adalah pada 2010," akunya dengan suara lirih dan parau.
Surtini mengenang, saat air rob mulai menginvasi lahan, orang-orang mulai melakukan alih fungsi sawah jadi tambak ikan bandeng. Namun, karena kian hari semakin parah, tambak nggak lagi menguntungkan. Para pemuda memilih jadi buruh pabrik, sedangkan para lansia menganggur.
“Dulu yang tua masih bisa ke sawah, sekarang apa yang bisa dikerjakan? Sekarang, di pabrik juga (orang tua) nggak laku,” keluh perempuan bersahaja tersebut. "Sekarang kami cuma bisa berharap pada pemerintah, semoga segera menemukan solusi untuk permasalahan rob di Sayung ini."
Permasalahan rob di bilangan Sayung memang semakin menjadi-jadi, terutama di wilayah utara seperti Desa Sriwulan, Bedono, Sidogemah, Timbulsloko, Tugu, Sirodadi, Sidorejo, dan Banjarsari. Lebih dari "sekadar" genangan air, mereka juga kesulitan akses ekonomi, pendidikan, dan sosial, lo! (Sekarwati/E03)