Inibaru.id – Tahun ajaran baru 2025/2026 dimulai dengan berita yang bikin geleng-geleng kepala. Di sejumlah daerah, banyak SD negeri mengalami kekurangan murid baru. Bahkan, ada sekolah yang tidak mendapatkan satu pun siswa baru.
Di Temanggung, misalnya, ada 105 SD negeri yang melaporkan kekurangan siswa baru. Di Boyolali, dua SD negeri sama sekali tidak menerima murid baru. Hal nggak jauh berbeda juga terjadi di Yogyakarta, Kudus, Mojokerto, Blitar, Trenggalek, hingga Kota Malang. Kalau dulu masalah ini hanya dianggap wajar terjadi di daerah pelosok, sekarang bukan hal aneh melihatnya di kota-kota besar.
Penyebabnya ternyata cukup kompleks. Ada yang bilang karena jumlah anak usia masuk SD memang menurun. Ada juga yang menyebut persaingan antarsekolah untuk mendapatkan murid baru terlalu ketat. Tapi yang paling mencolok adalah adanya pergeseran preferensi orangtua dalam memilih sekolah bagi anak-anak mereka.
Inilah yang diungkap Yani, warga Kabupaten Semarang. Ia lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang lokasinya cukup jauh meskipun ada dua SD negeri di dekat rumahnya.
“Saya merasa SD negeri di sini kurang optimal kualitasnya. Sementara SD swasta menawarkan fasilitas dan lingkungan belajar yang lebih mendukung. Jadi, meski bayar SPP bulanan lumayan mahal sementara jika di SD negeri malah gratis, saya merasa lebih yakin dengan pendidikan anak saya sekarang,” ungkapnya sembari menyebut sejumlah tetangga banyak yang mengikuti langkahnya.
Apa yang diungkap Yani sesuai dengan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Dilansir dari Kompas, Kamis (17/7/2025) data tersebut mengungkap pertambahan murid baru di SD swasta selama lima tahun terakhir rata-rata mencapai 17.580 siswa per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding SD negeri yang hanya bertambah sekitar 3.600-an siswa per tahun. Bahkan, jumlah murid baru SD swasta kini mencapai hampir lima kali lipat dibanding SD negeri!
Perbedaan fasilitas
Alasan lain yang membuat SD negeri makin sepi adalah kondisi fisik dan fasilitasnya. Banyak ruang kelas di SD negeri yang rusak atau nggak layak pakai. Laboratorium sains atau komputer juga belum tentu ada. Bandingkan dengan SD swasta yang rata-rata punya ruang komputer, kelas nyaman, dan jumlah murid per kelas lebih sedikit.
Adelita, dosen di Makassar, mengaku lebih nyaman menyekolahkan anaknya di SD swasta karena satu kelas hanya berisi 15 murid dan didampingi dua guru. “Ini bikin anak lebih diperhatikan. Kalau di SD negeri, bisa sampai 35 murid dalam satu kelas hanya dengan satu guru,” jelasnya.
Padahal, idealnya jumlah siswa per kelas adalah 28 orang, sesuai aturan pemerintah. Tapi praktik di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Di Kabupaten Bekasi, misalnya, terkuak laporan yang menyebut ada sekolah dengan jumlah siswa per kelas mencapai 53 anak!
Berbagai kondisi ini bikin banyak orangtua semakin ragu menyekolahkan anak di SD negeri. Mereka ingin anaknya belajar di tempat yang memberikan perhatian lebih, fasilitas lengkap, dan suasana belajar yang nyaman. Bagi mereka, SPP mahal per bulan layak demi menjamin kualitas pendidikan buah hatinya.
Di sisi lain, pemerintah bukannya tinggal diam. Program revitalisasi sekolah dan digitalisasi pembelajaran mulai dijalankan. Beberapa daerah juga menggulirkan BOSDA (bantuan operasional sekolah daerah) untuk membantu biaya operasional sekolah negeri. Namun, ini tampaknya belum cukup untuk membendung semakin derasnya arus orangtua yang beralih ke SD swasta.
Fenomena ini tentu perlu jadi perhatian serius. Jika tidak segera ditangani, jangan-jangan ke depan akan lebih banyak SD negeri yang kekurangan murid, bahkan terpaksa tutup. Padahal, pendidikan dasar seharusnya bisa diakses merata oleh semua kalangan, tanpa harus mengorbankan kualitas.
Sudah saatnya pemerintah dan semua pemangku kepentingan duduk bareng, menyusun strategi agar SD negeri kembali jadi pilihan utama, bukan sekadar alternatif, karena memang menjamin pendidikan terbaik bagi anak-anak bangsa. Setuju, Gez! (Arie Widodo/E07)
