Inibaru.id - Sudah dua tahun Anwar Hakim tercatat sebagai guru, tapi hingga kini dia merasa belum sreg dengan rutinitas kegiatan belajar-mengajar yang dia jalani tersebut saban hari. Guru Bahasa Indonesia itu berpikir, apa yang sebenarnya tengah diajarkannya di sekolah?
"Murid-murid saya ini belajar untuk apa? Mana yang lebih penting, belajar 'nilai-nilai' atau untuk mengejar nilai?" tutur Anwar pada Jumat (5/2/2025).
Pertanyaan serupa juga sempat diungkapkan Gusti, kawan kuliah Anwar yang saat ini tengah menempuh pendidikan S2 Administrasi Pendidikan di sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Menurutnya, di sudut mana pun para pelajar bersekolah, tuntutannya selalu nggak jauh-jauh dari perkara peringkat.
"Entah kenapa orang selalu berkompetisi untuk semata mengejar peringkat dan nilai akademis, padahal ada banyak nilai lain yang seharusnya juga kita kuasai semisal empati, saling menghargai, dan lain-lainnya," tutur lelaki asal Bali tersebut.
Berkompetisi di Dunia Pendidikan
Sedari kecil, masyarakat Indonesia memang selalu didorong untuk berkompetisi di dunia pendidikan dengan tolok ukur angka-angka yang tertera di rapor. Tuntutan para orang tua itu kemudian diamini para guru, sehingga institusi pendidikan pun nggak ubahnya Colosseum tempat para gladiator beradu.
Malas bersekolah, dirundung teman sekelas, hingga kelelaham karena harus menambah jam belajar merupakan isu pendidikan yang terus-menerus kita dengar dari mulut para pelajar ini. Entah sudah ke berapa kali isu tersebut mencuat saat peringatan hari pendidikan.
Tahun ini pun setali tiga uang. Di berbagai sudut kota, Hari Pendidikan Nasional masih saja diperingati dengan seremoni yang membosankan; murid berseragam rapi, kadang berbusana motif batik atau kostum profesi, lalu perwakilan guru berpidato di tengah lapangan.
"Para guru ini selalu melontarkan pesan yang klise, seperti 'belajar yang giat', 'ujian sudah dekat', atau 'jadilah nomor satu di sekolah' yang tentu saja membuat siswa merasa harus melakukannya agar dianggap berhasil," ungkap Gusti.
Apa yang Terjadi di Dunia Pendidikan Indonesia?

Keberhasilan kita di dunia pendidikan selalu ditentukan dari seberapa tinggi nilai ujian yang berhasil kita dapatkan. Orang-orang yang secara akademis nilainya kurang dianggap nggak menjanjikan, sedangkan yang cum laude disebut punya masa depan cerah.
Pertanyaannya, apa yang sebenarnya tengah terjadi?
1. Nilai ujian di atas segalanya
Stigma di masyarakat yang menyiratkan bahwa nilai ujian di atas segalanya itulah yang membuat banyak anak belajar untuk dapat nilai tinggi, bukan karena paham atau ingin tahu. Nilai rapor jadi penentu masa depan, sementara kemampuan berpikir kritis, empati, dan etika kadang hanya jadi tempelan di kurikulum.
Yang menyedihkan, kondisi ini membuat siswa hanya belajar sesuai dengan yang diajarkan. Mungkin ini menjadi salah satu alasan kenapa budaya literasi kita begitu rendah.
Survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa skor literasi membaca siswa Indonesia turun 12 poin dibandingkan pada 2018, menjadi 359 poin. Ini merupakan skor terendah sejak Indonesia kali pertama berpartisipasi dalam PISA pada 2000.Ketimpangan
2. Ketimpangan akses pendidikan masih tinggi
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan antara wilayah perkotaan dan perdesaan masih cukup tinggi di Indonesia.
Di desa, sebanyak 5,11 persen warga usia 15 tahun ke atas belum atau nggak pernah sekolah dan 12,39 persen nggak menamatkan pendidikan SD. Sementara di kota, angkanya jauh lebih rendah, yakni 1,93 persen yang belum atau nggak sekolah dan 6,62 persen yang nggak menamatkan pendidikan SD.
Pemerintah mengatakan, pemerataan pendidikan di Indonesia memang menghadapi sejumlah kendala, meliputi keterbatasan akses dan infrastruktur pendidikan yang memadai, kondisi geografis yang sulit dijangkau, serta hambatan sosial dan budaya yang menganggap pendidikan bukan prioritas.
3. Sekolah: tempat bertahan, bukan bertumbuh?
Tekanan akademik, perundungan, dan ekspektasi tinggi sering menjadikan sekolah bukan ruang aman, tapi tempat bertahan, terlebih bagi mereka yang dianggap "berbeda", baik dari segi latar belakang ekonomi, suku, budaya, agama, ras, hingga para disabilitas.
Harus diakui bahwa sistem pendidikan kita belum sepenuhnya memberi ruang untuk menjadi diri sendiri, apalagi berkembang sesuai potensi. Kita yang dituntut untuk bertanggung jawab, jujur, atau toleran juga acap nggak mendapatkan tauladan; karena pendidikan karakter juga lebih sering berupa slogan dan simbol semata.
4. Masih ada harapan dari generasi muda
Di tengah perjalanan pendidikan di Indonesia yang statis dan nggak banyak inovasi berarti, generasi muda Indonesia sepertinya masih optimistis bahwa negeri ini belum habis. Banyak guru dan sekolah yang mulai bergerak, mulai dari membuka ruang diskusi hingga membuat kelas lebih ramah dan relevan.
Survei Indeks Optimisme 2023 menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia memiliki pandangan positif terhadap akses pendidikan berkualitas, dengan skor 8,67/10. Kalau kamu perhatikan, di sejumlah sudut di Indonesia, mulai muncul gerakan akar rumput seperti komunitas belajar mandiri hingga kolektif dan inisiatif digital untuk pendidikan inklusif.
Maka, memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, sepertinya sudah saatnya kita nggak hanya adu cepat perkara nilai rapor, tapi juga tumbuh, memahami, dan membentuk masa depan dengan nilai-nilai lain yang juga cukup berharga untuk hari-hari kita ke depan. (Siti Khatijah/E07)