Inibaru.id – Perasaan tegang tapi antusias terpancar di wajah anak-anak berusia kisaran enam tahun ini pada Senin (14/2) pagi. Didampingi orang tua masing-masing, para siswa TK Sekolah Kucica tersebut tengah mengantre untuk mendapatkan vaksin Covid-19 dosis kedua di Puskesmas Ungaran, Kabupaten Semarang.
Mira Ayu, orang tua salah satu siswa yang turut menemani kegiatan vaksinasi itu, juga tampak tegang. Namun, dia mengaku lega lantaran buah hatinya akhirnya mendapatkan vaksin dosis kedua. Dia juga bersyukur pihak sekolah bersedia mengoordinasi proses vaksinasi.
"Anak-anak merasa nyaman karena banyak teman, jadi nggak takut," ungkapnya sembari tetap memperhatikan anaknya yang baru saja selesai divaksin. "Saya merasa lebih aman karena (anak) bersama bu guru dan praktis; saya tinggal mendampingi.”
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, vaksinasi Covid-19 memang bukan perkara gampang, terlebih untuk anak-anak. Banyak hoaks yang berkembang, sehingga membuat para orang tua enggan merelakan anaknya diberi vaksin.
Nggak hanya orang tua, cerita "horor" tentang vaksin juga kerap mampir di telinga anak-anak, yang tentu saja membuat mereka takut ditembus jarum suntik. Namun, pemahaman yang baik agaknya telah dilakukan para guru di TK Sekolah Kucica.
Dari seluruh siswa yang mengikuti vaksinasi, nggak ada satu pun yang merasa gentar. Rasa takut tetaplah muncul, kentara sekali dari raut muka mereka. Namun, sebagian dari mereka mengatasinya dengan membuat gurauan yang sukses membuat semua peserta tertawa, seperti yang dilakukan Athalla Danish Putra (6).
“Bu Guru, tahu nggak? Disuntik itu rasanya kayak digigit singa, lo!” seru Danish, sapaan akrabnya, lalu tergelak nggak lama setelah disuntik vaksin Covid-19 dosis kedua.
Dia nggak menangis, meski mengamini bahwa disuntik itu sakit. Namun, candaannya yang hiperbolis tentang disuntik seperti digigit singa ini agaknya mencoba memvalidasi bahwa dirinya cukup kuat dan tangguh untuk menerima suntikan.
Takut karena Ditakut-takuti
Agak berbeda dengan Danish, Velatu Nara Y (6) sempat menolak untuk divaksin. Raut mukanya memucat. Gadis cilik yang biasa dipanggil Velatu itu juga harus dipegangi empat orang karena terus memberontak saat hendak divaksin.
“Padahal waktu vaksinasi pertama dia biasa-biasa saja. Disuntik nggak menangis,” ungkap Ertania Johana, Kepala Sekolah TK Sekolah Kucica.
Usut punya usut, lanjut guru yang akrab disapa Bu Hana itu, Velatu ketakutan lantaran sempat ditakut-takuti sepupunya yang mengatakan bahwa suntikan kedua rasanya akan jauh lebih sakit dari suntikan pertama. Inilah yang kemudian membuat gadis ceria tersebut berubah murung menjelang divaksin.
“Tapi, setelah selesai disuntik, dia balik ceria dan bisa ketawa lagi, juga ikut foto bareng,” tutur Hana yang juga mengungkapkan bahwa secara keseluruhan proses vaksinasi tersebut terbilang lancar.
Dia menambahkan, ketakutan-ketakutan pasca-vaksin yang banyak didengungkan orang juga nggak dialami anak-anak didiknya. Anak-anak itu, lanjutnya, bahkan pengin bisa main dulu di sekolah setelah divaksin, yang tentu saja dia larang.
"(Setelah vaksin) anak-anak harus pulang ke rumah, karena mereka butuh istirahat setelah divaksin,” terangnya.
Lebih lanjut, Hana mengungkapkan, agar terhindar dari reaksi negatif anak, edukasi terkait vaksinasi Covid-19 perlu disampaikan dengan cara yang tepat. Selain pemahaman soal pandemi yang belum reda dan virus yang bisa menyerang siapa pun, anak juga perlu diberi penjelasan bahwa vaksin membuat tubuh kebal virus.
"Penjelasan harus dilakukan dengan cara yang menarik, misalnya melalui mendongeng atau bercerita," kata dia.
Kelancaran proses vaksinasi TK Sekolah Kucica, tambahnya, bisa dilakukan karena anak-anak sudah cukup paham dengan hal tersebut. Mereka ingin divaksin agar selalu sehat, bisa pergi ke sekolah, dan bermain bersama banyak teman.
"Mereka juga sudah cukup diberi pemahaman terkait persiapan yang perlu dilakukan sebelum vaksin semisal sarapan dulu dengan makanan bergizi, tidur yang cukup, dan menjaga kondisi tubuh dalam keadaan sehat," tandasnya.
Yap, pelaksanaan vaksinasi Covid-19 anak usia 6-11 tahun merupakan usaha perlindungan ekstra. Tentu saja manfaat ini nggak cuma akan dirasakan anak, tapi juga keluarga, teman bermain, dan lingkungan sekitar, mengingat anak juga bisa terpapar virus SARS-CoV-2 meski tanpa gejala apa pun. (Ike Purwaningsih/E03)