Inibaru.id - Era digital membuka banyak peluang, tapi juga menyimpan risiko terutama bagi anak-anak. Menyadari hal itu, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025, atau yang dikenal sebagai PP Tunas, menetapkan batasan tegas terkait akses anak terhadap platform digital.
Menurut Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid, platform digital yang tergolong berisiko tinggi hanya boleh diakses oleh anak berusia 16 tahun ke atas. Hal ini mencakup konten yang mengandung kekerasan, pornografi, perjudian, hingga ruang yang rawan perundungan daring.
"Platform dengan risiko tinggi hanya boleh diakses oleh anak-anak berusia 16 tahun ke atas, dan itu pun harus dengan pendampingan orang tua,” ujar Meutya lewat keterangan resmi, dilansir Kompas, Jumat (25/7/2025).
PP Tunas mengklasifikasikan layanan digital ke dalam kelompok usia dan tingkat risiko, mirip seperti sistem rating dalam film. Tujuannya menciptakan ruang digital yang aman dan sehat untuk tumbuh kembang anak-anak Indonesia.
Namun, perlindungan nggak cukup hanya lewat aturan. Meutya mengingatkan, pengawasan orang tua, peran guru, dan kesadaran anak terhadap hak digitalnya juga nggak kalah penting. Anak diminta untuk nggak ragu melapor jika menjadi korban kekerasan digital. Negara menjamin perlindungan hukum dan akan memberikan dukungan yang dibutuhkan.
"Platform digital tidak bisa disamaratakan. Karena itu, pemerintah akan mengklasifikasikan akses berdasarkan kategori risiko platform, yaitu rendah, sedang, dan tinggi," ucap Meutya.
Klasifikasi Batas Usia dan Tingkat Risiko
Berikut klasifikasi batas usia dan tingkat risiko akses platform digital:
- Anak di bawah 13 tahun hanya diperbolehkan menggunakan platform yang benar-benar aman, seperti layanan edukatif atau konten khusus anak.
- Usia 13–15 tahun dapat mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang, dengan tetap mempertimbangkan pengawasan.
- Usia 16–17 tahun sudah bisa mengakses platform berisiko tinggi, namun harus tetap didampingi orang tua atau wali.
- Usia 18 tahun ke atas bebas mengakses seluruh kategori platform tanpa batasan.
Langkah ini dinilai krusial mengingat hasil survei tahun 2024 yang menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen anak-anak di Indonesia mengakses internet tanpa pendampingan. Data juga menunjukkan peningkatan kasus eksploitasi daring dan penyalahgunaan data pribadi anak di sejumlah platform populer.
Di tengah kemajuan teknologi seperti AI, deepfake, dan algoritma yang menyasar anak-anak secara agresif, Indonesia berusaha menegakkan perlindungan digital sebagai bentuk nyata komitmen terhadap hak-hak anak. “Kita tidak bisa membiarkan anak-anak menjadi objek pasar tanpa perlindungan,” kata Meutya.
Melalui PP Tunas, Indonesia bergabung dengan negara-negara seperti Uni Eropa yang telah menerapkan Digital Services Act untuk memastikan platform digital bertanggung jawab terhadap konten dan algoritma mereka, terutama yang berdampak pada anak di bawah umur.
Gawai memang nggak bisa lepas dari kehidupan anak zaman sekarang. Tapi lewat aturan yang jelas, edukasi yang konsisten, dan pendampingan dari orang dewasa, kita bisa memastikan mereka tumbuh sebagai warga digital yang cerdas, aman, dan berdaya. Gimana menurutmu, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
