Inibaru.id – Namanya memang Gunung Pegat, tapi tingginya hanyalah sekitar 200 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan lebih cocok disebut sebagai bukit. Meski begitu, gunung yang ada di Kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah ini menyimpan banyak cerita sejarah. Salah satu di antaranya adalah adanya lima buah luweng alias sumur peninggalan Belanda dan saluran air bawah tanah di sana.
Meski ukuran bukitnya nggak begitu besar, terdapat tiga permukiman warga dari tiga desa, yaitu Krakitan, Jotangan, dan Krikilan yang menempati lereng Gunung Pegat. Selain itu, terdapat hutan jati dan mahoni yang cukup lebat. Nah, di sela-sela rapatnya pepohonan itulah, terdapat lima luweng yang dibangun pada masa kolonial.
Tiga luweng berbentuk bulat dan dilengkapi dengan bangunan tembok. Dua luweng berbentuk kotak. Semuanya dilengkapi saluran irigasi di bawahnya. Khusus untuk luweng yang masuk wilayah Desa Jotangan, ukurannya paling besar. Diameter mulutnya mencapai 15 meter dan kedalamannya mencapai 50 meter.
Menurut warga setempat, luweng-luweng itu dulunya dibangun untuk memenuhi kebutuhan pengairan. Sumber airnya berasal dari Rawa Jombor dan dialirkan melalui saluran air bawah tanah, Millens.
“Airnya dialirkan ke Kecamatan Cawas dan Pedan untuk kebutuhan pabrik gula (Manisharjo) dan pertanian. Sepertinya luweng-luweng ini fungsinya untuk maintenance saluran air tersebut,” terang Kasiman, warga Desa Krakitan sebagaimana dilansir dari Detik, Sabtu (1/5/2021).
Warga setempat nggak ada yang tahu pasti kapan luweng-luweng ini dibangun. Tapi, Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Klaten Yuli Budi menyebut luweng-luweng di Gunung Pegat diperkirakan mulai dibangun pada 1911.
“Kira-kira mulai dibangun pada 1911 dan selesai 1924. Fungsinya memang mengalirkan air dari Rawa Jombor. Luwengnya berperan ganda, yaitu sebagai bak kontrol sekaligus celah udara karena saluran airnya dibuat di bawah tanah Gunung Pegat,” ucap Yuli.
Panjang saluran air tersebut mencapai 1 sampai 1,5 kilometer. Hal ini dibenarkan oleh salah seorang warga Desa Krakitan Surip.
“Yang tembok itu hanya sekitar 500 meteran saja. Sisanya yang ke arah timur hanya dinding batu gunung asli yang sangat kuat. Airnya dari rawa masuk ke dalam saluran, baru melewati saluran bawah tanah. Mulut salurannya kelihatannya kecil, padahal cukup besar seperti ruangan. Saya tahu soalnya pas kecil pernah masuk diajak ayah saya,” ceritanya.
Cukup luar biasa ya, Millens melihat adanya sistem saluran air bawah tanah yang menembus Gunung Pegat sudah dibuat pada masa penjajahan Belanda alias sekitar seratus tahun yang lalu. Semoga saja bangunan tersebut tetap terjaga kondisinya, ya? (Arie Widodo/E05)