Inibaru.id – Dari sekian banyak kelurahan yang ada di Kota Surakarta, Sangkrah bisa jadi punya sejarah yang cukup unik. Bagaimana nggak, kelurahan yang berlokasi di Kecamatan Pasar Kliwon ini dikenal sebagai area pengendali banjir di Solo sejak zaman penjajahan Belanda.
Sangkrah dilalui tiga sungai di Solo, yaitu Bengawan Solo, Pepe, dan Kecing. Pada zaman penjajahan, sungai tersebut sering dipakai para pedagang untuk mencapai pasar-pasar yang ada di Solo.
Karena dilalui tiga sungai penting sekaligus, wajar jika Sangkrah kemudian dijadikan wilayah pengendali banjir di solo. Hal ini dibenarkan oleh Komunitas Sejarah Solo Societeit.
“Di Babad Giyanti, disebut kata Bengawan Sangkrah saat proses pencarian lokasi ibu kota kerajaan. Dulunya, Sangkrah ini adalah bagian dari sungai besar,” ucap pendiri Solo Societeit Heri Priyatmoko sebagaimana dikutip dari Detik, Senin (27/12/2021).
Semua berubah sejak Pakubuwono IV memerintah pada 1788-1820. Kawasan Sangkrah sampai Baturono diuruk dan berubah jadi daratan. Sungai-sungai di wilayah tersebut kemudian diatur sedemikian rupa demi mengendalikan banjir di wilayah tersebut.
Salah satu peristiwa banjir yang mampu dikendalikan di kelurahan ini adalah saat Kali Pepe meluap pada 1902, tepatnya saat Pakubuwono X memerintah. Sejak saat itu, dibangunlah kanal yang mengaitkan Sungai Pepe dengan Bengawan Solo pada 1910. Kanal tersebut masih bisa dipakai untuk mengendalikan banjir hingga sekarang, lo.
Pada masa pemerintahan yang sama pula, terjadi modernisasi besar-besaran di Solo. Selain trem, kereta api juga beroperasi di Solo.
Nah, mengingat Sangkrah sudah populer menjadi salah satu pusat ekonomi akibat adanya sungai-sungai besar yang dipakai pada pedagang untuk mendistribusikan barang, didirikanlah Stasiun Solo Kota pada 11 Juni 1920. Stasiun ini jadi penghubung Solo dan Wonogiri yang ada di sisi selatan.
Berkat adanya stasiun di Solo, banyak pedagang yang ada di pedesaan yang nggak lagi kesulitan menjual hasil buminya di Solo.
“Menggeliatnya ekonomi di sekitar stasiun membuat Pasar Sangkrah berdiri di bagian barat stasiun,” ungkap dosen jurusan sejarah dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tersebut.
Bahkan, saking ramainya kegiatan ekonomi di Sangkrah, sejumlah pabrik berdiri di masa penjajahan. Salah satu yang paling populer adalah pabrik limun De Hoop yang menjual minuman bersoda. Sayangnya, pabrik ini berhenti pada masa pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada 1980 lalu. Bangunannya masih berdiri sampai sekarang.
“Bangunannya sempat jadi pabrik sabun. Tapi kini digunakan sebagai gudang elektronik,” jelas Heri.
Wah, nggak nyangka ya, Millens, sebuah kelurahan di Solo ternyata punya sejarah besar yang asyik untuk diikuti. (Arie Widodo/E05)