Inibaru.id – Kalau kamu menyusuri perkembangan Islam di Kota Tegal, pasti bakal mendengar satu nama, yaitu Sunan Panggung. Dia dikenal sebagai salah satu tokoh penyebar Islam paradoks dengan asal-usul yang sulit dicari. Ada yang menyebutnya sebagai cucu Prabu Brawijaya V (raja terakhir Majapahit), ada juga yang menyebutnya sebagai putra Sunan Kalijaga menurut Babad Cirebon.
Sunan Panggung memiliki nama asli Sayyid Syarif Abdurrahman. Konon, Sunan Panggung adalah ulama yang berasal dari Timur Tengah dan datang ke Nusantara untuk menyebarkan Islam di Kota Tegal.
Hubungan Murid dan Guru
Kiprahnya dalam penyebaran Islam di area Pantura (Rembang, Kudus, dan Sekitarnya) dikenal cukup kontroversial. Ajarannya dianggap menyimpang dan harus dihilangkan. Laiknya Syekh Siti Jenar yang akhirnya dihukum pancung karena mengajarkan manunggaling kawula Gusti, kegiatan Sunan Panggung juga sulit dimengerti saat itu.
Jauh sebelumnya, Sunan Panggung sempat diutus oleh Sunan Kalijaga untuk menjadi mata-mata Syekh Siti Jenar. Bukannya mengawasi, Sunan Panggung justru tertarik akan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar. Dia kemudian mengikrarkan diri menjadi pengikut setianya.
Usai Syekh Siti Jenar dihukum. Sunan Panggung yang marah besar lantas mendirikan Paguron Lemah Abang di Pengging dan merekrut murid sebanyak-banyaknya. Sunan Panggung juga memelihara dua anjing yang diberi nama Iman dan Tauhid.
Ajaran yang Menyimpang
Anjing yang dipeliharanya merepresentasikan nafsu manusia yang berbentuk hewan. Menurutnya, anjing dan manusia sama-sama diciptakan oleh Tuhan dan keduanya tidak punya kehendak di luar kehendak Sang Pencipta. Yang paling sulit diterima dari aktivitasnya memelihara anjing adalah anjing tersebut ikut dibawa masuk ke dalam masjid, termasuk setiap waktu salat Jumat.
Sunan Panggung mendapatkan peringatan keras dari Wali Songo karena ajaran yang disebarkannya dianggap berbeda dan menyimpang. Sunan Panggung membalasnya dengan menjelaskan bahwa ajaran Islam yang disebarkan Wali Songo hanya sekadar kulitnya saja, sedangkan inti sarinya malah tidak pernah diajarkan pada penduduk Jawa.
Tanpa tedeng aling-aling, Sunan Panggung mengajarkan pada muridnya bahwa salat, zakat, dan puasa tidak penting dilakukan. Jika aktivitas tersebut rutin dilakukan, justru akan menjadi tirai yang membatasi manusia dari pengetahuan tentang nilai yang utama.
Para Wali merasa bahwa tindakan Sunan Panggung merupakan tindakan yang sembrono. Akhirnya, Wali Songo meminta Penguasa Demak kala itu, Sultran Trenggono untuk menjatuhkan hukuman bakar terhadap Sunan Panggung.
Sunan Panggung menerima hukuman tersebut dengan lapang dada. Saat api hukuman telah berkobar, Sunan Panggung meminta kedua anjingnya untuk melompat ke dalam api. Namun, secara ajaib, mereka sama sekali nggak terbakar. Barulah setelah itu, giliran Sunan Panggung melompat ke dalam kobaran api tersebut.
Di tengah api yang berkobar, Sunan Panggung meminta secarik kertas dan pena. Dia menuliskan sebuah suluk berbentuk puisi yang dinamakan Suluk Malang Sumirang yang kemudian diberikan kepada Raden Patah. Beberapa waktu kemudian, Sunan Panggung yang nggak terbakar pergi meninggalkan area tempat pembakaran dan menghilang.
Kabarnya, Sunan Panggung memilih untuk menyingkir ke Kota Tegal untuk mengajarkan Islam. Sebutan "Panggung" sendiri berasal dari adanya pulau kecil berbentuk panggung di sana. Dia pun menetap di wilayah tersebut hingga tutup usia. (Hop, Tri, Lin/IB31/E07)