Inibaru.id – Pada bulan Oktober hingga Desember 1945, bergejolak suatu gerakan rakyat yang dikenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah”. Gerakan akar rumput ini merupakan sejarah revolusi sosial Indonesia yang terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan meliputi Brebes, Tegal, dan Pemalang.
Lahirnya gerakan ini dilatarbelakangi pada era penjajahan Jepang di mana sebagian sumber daya dan bahan pangan dieksploitasi demi kepentingan perang Jepang. Sayangnya, adanya wajib setor padi serta penjatahan bahan pangan, diimbangi dengan korupsi dan penindasan yang dilakukan oleh pihak penguasa lokal.
Distribusi beras kepada rakyat kerap tersendat di tingkat birokrasi kecamatan dan desa. Padi dibiarkan menumpuk di gudang. Akibat kelaparan dan kekurangan pangan banyak terjadi di wilayah Tiga Daerah.
Kemarahan rakyat terhadap otoritas pemerintah khususnya Tegal kian memuncak ketika para birokrat dan pangreh desa (residen, bupati, wedana, dan camat) kembali dipercaya untuk menjabat setelah Kemerdekaan RI. Pasalnya, mereka dulunya antek penjajah.
Revolusi Kutil
Rakyat yang marah kemudian melahirkan Peristiwa Tiga Daerah. Penggerak dari aksi ini adalah para lenggaong yang memanfaatkan kekosongan otoritas kekuasan di tingkat lokal semasa era peralihan kekuasaan. Nama tokoh lenggaong yang terkenal adalah Sakhiyah alias Kutil. Hal inilah yang membuat gerakan ini juga disebut Revolusi Kutil.
Gerakan ini merupakan upaya pembersihan terhadap antek penjajah yang menjadi praja atau pejabat daerah pasca-kemerdekaan RI. Sasaran Gerakan Kutil adalah para aparat kepala desa, camat, bupati, residen dan jajaran yang dulu pada masa penjajahan ikut menindas rakyat.
Para target gerakan ini bakal diarak keliling kampung. Aksi mengarak koruptor pada masa itu dikenal dengan istilah “dombreng”. Istilah ini berasal dari suara tetabuhan kentong kayu dan kaleng yang dimainkan ketika mengarak koruptor-koruptor lokal ini. Mereka diarak dengan berpakaian karung goni. Yap, itulah pakaian rakyat ketika Jepang menjajah.
Awal Peristiwa Dombreng koruptor terjadi di desa Cerih, Tegal. Pada 7 Oktober 1945, warga mengepung rumah Lurah Cerih Raden Mas Harjowiyono. Desa ini tergolong miskin, namun jadi pusat gerakan radikal sejak era kolonial Belanda. Tahu dirinya diincar, Harjowiyono bertahan di dalam rumah semalaman.
Bukannya kabur, pagi harinya Harjiwiyono justru mendatangi massa dengan pakaian kebesarannya. Langsung saja, pakaian itu diganti rakyat yang marah dengan karung goni. Sang istri yang kala itu ikut, dipakaikan kalung padi. Keduanya kemudian diarak keliling kampung seperti jatilan dengan iringan gamelan yang dimiliki sang lurah.
Nggak cukup cuma diarak, pasangan ini masih dihina dan diperlakukan seperti hewan. Mereka dipaksa minum air dari tempurung kelapa dan makan dedak.
Gerakan pembersihan ini membesar dan meluas ke Brebes, Tegal, dan Pemalang dalam kurun waktu yang singkat.
Negara Talang
Sayangnya, gerakan yang murni untuk pembersihan antek penjajah ini membesar dan dianggap ditumpangi kepentingan komunisme. Oleh pemerintah pusat, gerakan ini dianggap bertujuan mendirikan negara sendiri. Menurut Bung Karno, peristiwa Gerakan Tiga Daerah ini disebut dengan sebutan pemberontakan “Negara Talang”.
Imbas karena dituduh sebagai pemberontak, Kutil dijatuhi vonis mati oleh Pengadilan Negeri Pekalongan pada 21 Oktober 1946. Dia dieksekusi pada 5 Mei 1951.
Hm, nggak disangka ya kalau akhir dari gerakan pembersihan dari korupsi ini adalah hukuman mati. Kalau menurut kamu, gimana, Millens? (Sua,Tir, His/IB32/E05)