Inibaru.id – Lasykar Wanita (Laswi) lahir di tengah kekacauan pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kelahiran kelompok pejuang perempuan di Kota Bandung, Jawa Barat, itu nggak lepas dari peran Sumarsih Subyanti alias Yati Arudji sebagai inisiator.
Ketika itu, tentara sekutu yang dibonceng The Netherlands Indies Civil Administration (Nica) mulai berdatangan dan menyebar di Indonesia. Yati yang merupakan istri Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat itu pun merasa perlu mengajak para perempuan untuk angkat senjata.
Dia mengajak kaum perempuan turut berperang di garis depan guna membantu pergerakan anggota TKR (Kelanjutan dari BKR) yang seluruhnya merupakan kaum laki-laki. Anggotanya adalah para perempuan dari pelbagai kalangan, mulai kaum biasa hingga para aktivis atau kalangan terpelajar.
Bersama para aktivis lulusan Hollandsch inlandsche (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hollandsche, dan murid perempuan dari Indische Kweekschool (HIK) Kota Bandung, Laswi resmi berdiri pada 12 Oktober 1945.
Terinspirasi dari Perintah Tuhan
Dikutip dari buku Satu Abad Kartini karya Annie Bertha Simamorra, alasan utama mendirikan Laswi adalah berupaya mengikuti perintah Allah SWT. Seperti buku mengenai Siti Aisyah, istri Rasulullah yang turut maju ke medan perang.
Yati berpendapat, buku menjadi hal paling penting untuk membangkitkan semangat berjuang para perempuan pembela tanah air tersebut. Setiap melakukan upacara rutin di markasnya, dia juga membagikan semangat melalui pembacaan buku-buku sejarah, seperti Sarinah karya Bung Karno.
“Seperti diperintah oleh Allah SWT untuk turut berjuang bersama golongan pria," kata Yati dalam buku yang terbit pada 1979 tersebut.
Sempat Kesulitan Merekrut Anggota
Meski tujuannya baik, inisiatif Yati untuk merekrut anggota Laswi nggak gampang. Banyak di antara mereka yang terhalang stigma orang tua. Perempuan dianggap kurang pantas bercelana, memanggul senjata, dan duduk di atas truk. Apalagi jika harus maju ke garis depan.
Alasan lain, para orang tua ini nggak rela jika anak perempuan mereka diincar lelaki jahat ketika pergi berperang. Meski begitu, nggak sedikit perempuan di Bandung yang berhasil melawan norma tersebut, contohnya Amir Kartabrata dan Euis Sari’ah (Saartje).
“Keduanya juga didaulat menjadi Kepala Brigade satu dan Kepala Pleton Satu dari Laswi," seperti tertulis dalam jurnal tersebut.
Memenggal Antek Penjajah sebagai Pembuktian
Pandangan miring akan kemampuan perkumpulan perempuan ini juga sempat mereka alami. Mereka dianggap mempersulit gerakan pejuang kemerdekaan di Bandung. Namun, dua anggota Laswi yakni Soesilowati dan Willy menepis kritik tersebut dengan nggak disangka-sangka.
Mereka konon sangat ditakuti Belanda lantaran pernah memenggal perwira muda dari Gurkha Riffles. Perwira ini merupakan anggota kesatuan elite Inggris-India yang ditugaskan Belanda menggempur rakyat di palagan Bandung.
Keberanian kedua gadis itu mendapat pengakuan dari Jenderal (Purn) AH Nasution yang tertulis dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda.
Dalam catatan tersebut, Nasution merasa kagum dengan keberanian perempuan-perempuan muda dari Laswi. Ketika itu, Soesilowati dan Willy menenteng kepala dari Panglima Gurkha. Nggak heran jika Nasution sering memberikan tempat untuk para anggota Laswi.
Sungguh keberanian yang nggak bisa dianggap remeh ya, Millens? (His,Mer/IB21/E03)