Inibaru.id – Salah satu kisah sejarah yang dianggap cukup penting di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah adalah Perang Kuning. Perang yang berlangsung antara 1741-1743 ini berlangsung antara VOC dan warga Tionghoa-Jawa.
Sejumlah tokoh penting Lasem terlibat dalam perang tersebut. Mereka adalah Raden Tumenggung Widyaningrat, adipati keturunan Tionghoa pertama di Lasem, Raden Panji Margono yang dikenal sebagai bangsawan Jawa, serta Kiai Ali Badawi, pengasuh pesantren di Puri Kawak, Lasem.
Nah, yang kita bahas adalah Tumenggung Widyaningrat. Nama aslinya adalah Oei Ing Kiat. Dia adalah keturunan Bi Nang Oen, salah seorang juru mudi armada Laksamana Cheng Ho yang sempat singgah di Bonang, Lasem. Karena didapuk untuk memimpin Kadipaten Lasem pada 1720-1750, Oei Ing Kiat yang merupakan seorang Tionghoa muslim pun mendaptkan gelar Tumenggung Widyaningrat.
“Oie Ing Kiat itu orang Tionghoa beragama muslim yang dinobatkan sebagai Adipati Lasem sekitar tahun 1730-an atau 1720-an. (Penobatan) itu terjadi sebelum meletusnya Perang Kuning pada 1741. Sebelum itu, Oei Ing Kiat sudah dinobatkan sebagai adipati, sampai 1750-an, karena pada saat itu kadipatennya dipindah ke Rembang,” tutur Exsan Ali Setyonugroho, salah satu sejarawan Lasem sebagaimana dikutip dari Detik (12/3/2023).
Exsan juga menuturkan bahwa Oei Ing Kiat dikenal sebagai saudagar kaya yang dermawan, rendah hati, dan bijaksana. Pantas saja sampai didapuk sebagai adipati, ya, Millens?
Pengobar Perang Kuning
Lantas, apa yang membuat Oei Ing Kiat sampai terpikir untuk mengobarkan Perang Kuning? Semua bermula dari terjadinya pembantaian orang-orang etnis Tionghoa di Batavia. Nah, Oe Ing Kiat menerima para pengungsi dan memberikan perlindungan bagi mereka di Lasem.
"Ia (Oei Ing Kiat) sangat terbuka dengan penderitaan orang lain. Ketika Batavia ada pembantaian orang-orang Tionghoa di Kaliangke, itu Oei Ing Kiat sebagai adipati menerima eksodus orang-orang yang selamat dan lari ke sini (Lasem), tahun 1740. Mereka meminta perlindungan juga,” tutur Exsan.
Sayangnya, kekuasaan VOC terus meluas hingga mencapai Rembang. Mereka bahkan mendirikan pemerintahan regency dan kantor dagang di Rembang dan Jepara. Oei Ing Kiat menganggap tindakan ini mengancam keamanan Kadipaten Lasem.
Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono kemudian secara diam-diam membangun kekuatan untuk merencanakan penyerbuan tangsi VOC di Rembang, Juwana, dan Jepara. Setelah merasa siap, Laskar Lasem yang terdiri atas para santri dan orang-orang Tionghoa di bawah komando Oei Ing Kiat menyerbu Pantai Bonang sampai Pelabuhan Dasun
Gugur ketika melawan Belanda
Sayangnya, Belanda terlalu kuat sehingga gagal ditaklukkan. Lasem bahkan akhirnya jatuh ke tangan penjajah. Oei Ing Kiat yang selamat dalam pertempuran pun diturunkan jabatannya menjadi Tumenggung Mayor Titular, jabatan boneka yang dibuat VOC demi mengawasi gerak-geriknya sekaligus mengendalikan perlawanan di Lasem.
Meski begitu, semangatnya untuk melakukan perlawanan nggak mudah padam. Pada 1750, Oei Ing Kiat, Raden Panji Margono, dan Kiai Ali Badawi menyerbu pusat komando VOC di Rembang dengan kekuatan yang tersisa.
Karena kekuatan yang sudah terkikis, perlawanan Oei Ing Kiat mudah ditaklukkan. Dia bahkan gugur dalam pertempuran di Layur, Lasem Utara. Jenazahnya kemudiam dimakamkan di Gunung Bugel. Sepeninggalnya, nggak terjadi lagi perlawanan terhadap para penjajah di Lasem.
Demi mengenang perjuangan Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono, didirikanlah Klenteng Gie Yong Bio di Lasem, Millens. Nggak hanya jadi tempat peribadatan, klenteng tersebut pun jadi salah satu tempat wisata paling populer di Lasem. (Fatkha Karinda Putri/E07)