Inibaru.id - Dalam Serat Aji Saka, keris memiliki peran besar dalam penciptaan aksara Jawa yang terkenal itu; hanacaraka. Konon, kedua abdi Aji Saka tewas setelah memperebutkan keris yang dititipkan Saka kepada salah seorang di antaranya.
Selanjutnya, keris memiliki sejarah yang kelam. Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa Timur misalnya. Dari masa Kediri hingga Singasari, senjata tosan aji ini memakan banyak korban. Tapi, selama itu pula senjata ini mencapai bentuknya seperti sekarang.
Awalnya, keris berbentuk gemuk-pendek dan berbadan lebar. Kemudian, keris berubah ramping, meski masih tampak dempak dan sangkuk. Kamu bisa melihatnya pada keris-keris Jenggala dan Singasari dalam relief di Candi Panataran.
Baru dalam kitab Pararaton, keris mewarnai kemelut berdarah di Tumapel. Tentu kamu ingat tiga tokoh sentral di dalamnya, yaitu Ken Arok, Tunggul Ametung, dan Ken Dedes. Senjata yang dimaksud adalah keris Mpu Gandring yang masih setengah jadi.
Ada tujuh orang yang harus kehilangan nyawa di ujung keris sakti itu. Mereka adalah Empu Gandring, Tunggul Ametung, Keboijo, Ken Arok, Anusapati, Tohjaya, dan Ranggawuni.
Baca Juga:
Jangan Salah Paham, Keris itu...Setelahnya, senjata tradisional itu juga masih melengkapi peristiwa-peristiwa besar di zaman berikutnya, yaitu Majapahit. Raja Jayanegara tewas oleh senjata tikam di tangan Ra Tanca. Setelah tertangkap, Ra Tanca dibunuh oleh Gajah Mada.
Babad Tanah Jawi
Dalam Babad Tanah Jawi, ada bagian khusus yang membahas mengenai pembuat keris atau empu. Nama-nama seperti Empu Supa Gati, Supa Jigja, Supa Driya, Supa Pangeran Sendang Empu Pitrang, Empu Ki Sura, dan Ki Supa Anom bakal kamu temukan di sana.
Diceritakan, banyak raja Majapahit yang memesan keris kepada para empu disusul para wali di workshop yang baru.
Hingga akhirnya, muncullah nama-nama keris seperti Condong Campur, Sabuk Inten, Nagasasra, Sengkelat, Carubuk, Kala Munjeng, Pedang Kyai Lawang, Kendali Rangah Macan Guguh, dan seterusnya. Keris-keris ini nantinya menjadi pusaka para raja Jawa.
Pada masa kerajaan Demak, Arya Penangsang juga ambil bagian dalam pertumpahan darah di kerajaan itu. Korban pertama adalah Sunan Prawata. Pengganti Sultan Trenggono dibunuh oleh prajurit suruhan Arya Penangsang.
Sunan Hadiri, suami Ratu Kalinyamat, menjadi korban berikutnya. Setelah itu, sasaran berikutnya adalah Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, adipati Pajang. Tapi, Jaka Tingkir nggak mempan ditusuk. Prajurit Sureng yang gagal pun dibunuh Aryo Penangsang dengan senjata saktinya, Kyai Brongot Setan Kober.
Tragedi berakhir dengan tewasnya Arya Penangsang di tangan Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Penjawi, dan putra Pemanahan, Danang Sutawijaya, alias Sutawijaya. Jaka Tingkir kemudian menjadi Sultan Pajang.
Senjata Tikam Andalan
Sejak pemerintahan Panembahan Senapati hingga Amangkurat Agung pada zaman Mataram Islam, senjata ini terus menjadi tokoh sentral peristiwa penting. Panembahan Senopati pernah ditusuk seorang mantri Pemajegan bernama Ki Bocor, namun gagal. Keris pusaka itu bernama Kyai Kebo Dengen.
Setelahnya Panembahan Senopati bergerak ke Madiun untuk menggempur para pemberontak. Dia Dihadapi Retna Jumilah yang membawa pusaka andalan Madiun, Kyai Gumarang. Lagi-lagi, Panembahan Senopati kebal.
Retna Jumilah sampai kehabisan tenaga dan meminta ampunan. Perempuan ini akhirnya diperistri Panembahan Senopati. Ketika Sultan Agung menjabat, dia mengumpulkan para empu terbaik untuk membuat senjata. Peristiwa ini dikenal dengan Pakelun.
Pada masa itu, keris-keris dinamakan tangguh Mataram Pakelun yang hingga kini masih banyak dijumpai.
Suksesi Kekuasaan
Setelah Blambangan dan Madura ditaklukkan, terjadi pemberontakan oleh Adipati Pragolapati, penguasa daerah Pati. Konon, orang-orang Pati kebal terhadap senjata. Hanya senjata yang diberi susuk emas yang bisa menembusnya. Nggak heran ketika senjata-senjata pusaka keris-keris Mataram ditatah emas, Kadipaten Pati pun jatuh.
Sultan Agung kemudian digantikan Amangkurat Agung. Pada periode ini, suasana benar-benar mencekam. Banyak kekerasan dan pembunuhan. Berbagai peristiwa berdarah itu melibatkan keris.
Korban kekejaman ini adalah Pangeran Alit, adik Amangkurat Agung. Sinuhun curiga adiknya hendak memberontak, sehingga seluruh pengikutnya dibunuh diam-diam.
Pangeran Alit murka di alun-alun dengan kerisnya yang sakti. Banyak korban berjatuhan. Demang Malaya atau Cakraningrat I dari Madura yang mencoba membujuk Pangeran Alit pun tewas usai lehernya ditusuk keris. Akhirnya, Pangeran Alit dikeroyok hingga tewas oleh pengikut Demang Malaya.
Pembantaian Para Ulama
Peristiwa lainnya adalah pembunuhan atas Ki Dalem (Ki Panjang), seorang dalang wayang gedog, hanya karena ia memiliki istri yang sangat cantik. Retno Gumilang namanya. Kala itu, penguasa Mataram menginginkan perempuan yang sedang bunting dua bulan itu sebagai selir timur (Ratu Wetan).
Stres karena suaminya dibunuh, perempuan yang kemudian dijuluki Ratu Malang itu akhirnya meninggal. Karena dianggap nggak becus menjaga Ratu Malang, sebanyak 43 dayang dan emban dibunuh satu per satu dengan keris.
Kekejaman Amangkurat Agung nggak berhenti sampai di situ. Dia bahkan menghabisi Pangeran Pekik dan seluruh pengikutnya yang dianggap bertanggung jawab atas kawin lari Rara Oyi dengan Pangeran anom, putranya sendiri.
Amangkurat I itu geram lantaran sejatinya Rara Oyi dia simpan untuk dinikahinya. Tapi, gadis asal Surabaya itu malah dinikahi putranya. Saking marahnya, dia bahkan menyuruh Pangeran Anom untuk menusuk Oyi sampai mati jika pengin diampuni.
Keris Lambang Kedaulatan
Setelah Amangkurat Agung lengser, masih banyak peristiwa yang melibatkan keris. Paku Buwana II, misalnya yang memberikan keris Kyai Kopek kepada Pangeran Mangkubumi. Dia kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwana I di Kasultanan Yogyakarta.
Jadi, Keris Kyai Kopek ini menjadi lambang pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh Paku Buwana II. Kalau kamu perhatikan, Pangeran Diponegoro juga selalu membawa keris di pinggangnya. Sebuah warangka gayaman gaya Yogyakarta.
Tentu banyak yang setuju jika keris tunggul dan pusaka keraton Jawa mempunyai karisma, kedudukan, dan sejarahnya masing-masing. Pada masa modern, keris juga masih menunjukkan perannya. Ia masih muncul dalam sejarah modern.
Dalam melawan Belanda, Panglima Besar Jenderal Soedirman menggunakan keris. Pada masa kejayaannya, Bung Karno selalu membawa senjata tikam dapur Cengkrong. Katanya, Bung Karno menjadi sangat berani, berwibawa, dan ditakuti, karena pusaka kerisnya.
Pada masa Orde Baru, Soeharto pun nggak ketinggalan. Dia sering memberikan keris sebagai tanda mata dalam lawatan diplomasinya. Hm, panjang juga ya peran keris, Millens! (Tum/IB21/E03)