Inibaru.id – Dua minggu belakangan, Siti mengaku kewalahan dengan banyaknya undangan hajatan yang datang ke rumahnya. Nggak hanya pernikahan, hajatan seperti sunatan atau khataman juga. Dia pun harus pandai-pandai menyisihkan uang untuk memberikan sumbangan ke berbagai acara-acara tersebut.
"Rasanya seperti semua orang lagi menikah atau menggelar hajatan lainnya. Tapi ini wajar, karena bentar lagi kan bulan Sura. Nanti sebulan penuh nggak ada yang berani bikin acara," ucap perempuan asal Kabupaten Semarang itu pada Senin (23/6/2025).
Dari pernyataan Siti yang seperti mewajarkan hal ini, muncul pertanyaan yang cukup mengusik; mengapa semua hajatan dilakukan sekarang dan nantinya nggak bisa dilakukan pada bulan Sura? Nah, hal inilah yang akan kita bahas kali ini, Millens.
Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, masih ada ruang sunyi yang dijaga dengan penuh hormat oleh masyarakat Jawa, yaitu Tahun Baru Jawa atau yang dikenal sebagai 1 Sura.
Bukan sekadar pergantian kalender, 1 Sura adalah momen spiritual yang begitu sakral dan sarat makna. Waktu tersebut sering kali dikaitkan dengan keheningan hingga aura mistis.
Bulan Sura adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Pada 2025 ini, 1 Sura 1959 Jawa jatuh pada Sabtu Legi, 28 Juni. Tapi seperti dalam tradisi Jawa, bukan pagi yang jadi penanda pergantian hari, melainkan malam sebelumnya.
Artinya, suasana magis 1 Sura sebenarnya sudah menyelimuti sejak matahari tenggelam pada Jumat Kliwon, 27 Juni nanti. Warga pun menyebutnya sebagai malam 1 Sura.
Nggak hanya malam 1 Sura yang dianggap sakral, pada sepanjang bulan Sura, masyarakat Jawa meyakini satu hal, yaitu larangan menggelar hajatan, termasuk pernikahan. Alasannya, bulan ini dianggap angker dan bukan yang pas untuk mengadakan acara yang bersifat bersuka cita.
Menurut Prof Dr Bani Sudardi, Guru Besar Ilmu Budaya dari Universitas Sebelas Maret (UNS), anggapan tersebut sebenarnya lebih bersifat sugestif, tapi sudah dipercaya secara turun-temurun.
“Kalau orang sudah percaya, semua kejadian bisa dikaitkan ke sana. Misalnya, ada yang ekonominya buruk, sering mengalami masalah rumah tangga, dikaitkan ke hari pernikahannya. Padahal, hal ini bisa saja terjadi pada mereka yang menikah di bulan-bulan lainnya,” ujarnya sebagaimana dinukil dari Kompas, Senin (23/6).
Dia mencontohkan, jika ada pasangan yang menikah di bulan Sura lalu mengalami masalah rumah tangga, hal itu langsung diasosiasikan dengan waktu pernikahannya yang dianggap nggak sesuai dengan tradisi.
Hal serupa berlaku untuk hajatan lain seperti khitanan, pesta besar, bahkan membangun rumah. Aktivitas-aktivitas itu juga dianggap kurang tepat jika dilakukan di bulan ini.
Menariknya, sebenarnya kalau ditelaah dari sisi sejarah, seharusnya larangan ini nggak karena bulan Sura itu angker, melainkan sebagai bagian dari penghormatan terhadap kesakralan bulan Sura.
Akar budaya terkait bulan Sura sendiri erat dengan sosok Sultan Agung, Raja Mataram pada abad ke-17. Dialah yang menyatukan kalender Saka Hindu dengan kalender Hijriah Islam untuk menciptakan sistem penanggalan Jawa yang unik. Bulan Muharam dalam Islam pun diganti namanya menjadi Sura dalam versi Jawa.
Lantas, mengapa kemudian bulan Sura punya nuansa mistis? Hal ini karena pada zaman dahulu, kegiatan seperti tirakat, tahlilan, ziarah makam leluhur, dan ritual batin di pantai selatan menjadi aktivitas yang lazim dilakukan pada malam 1 Sura.
Pada aktivitas-aktivitas tersebut, nggak ada pesta, nggak ada pula suara gamelan yang meriah. Yang terdengar hanya doa yang lirih, dan langkah kaki para peziarah yang berjalan dalam diam, mengelilingi keraton atau mendaki lereng gunung dalam keheningan.
Sosiolog UNS Drajat Tri Kartono menambahkan bahwa larangan-larangan itu murni berasal dari tradisi, bukan ajaran agama. Dia menyebutnya sebagai bentuk ekspresi budaya yang menekankan penghormatan terhadap waktu yang diyakini sakral.
“Pengaruh nilai spiritual ini melekat dalam budaya orang Jawa yang dikenal menjunjung tinggi warisan lelulur,” jelasnya.
Artinya, malam 1 Sura dianggap sebagai waktu untuk berhenti sejenak, menyepi dari dunia yang bising, menghidupkan kembali nilai-nilai batin yang mulai redup, sekaligus menghormati hidup dan alam semesta.
Seiring dengan waktu, durasi untuk melakukan hal tersebut nggak terbatas pada malam itu saja, tapi sepanjang bulan Sura.
Menarik juga ya sejarah terkait dengan malam 1 Sura dan larangan hajatan di bulan pertama ini. Di sekitar rumahmu, adakah yang masih meyakini mitos ini, Millens? (Arie Widodo/E10)