Inibaru.id - Ketegangan di Timur Tengah semakin menjadi. Pasukan udara Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom ke tiga pusat nuklir utama Iran yang ada di Kota Fordow, Natanz, dan Esfahan.
Serangan ini, yang disebut sebagai kelanjutan dari agresi Israel lewat Operasi Rising Lion, menandai keterlibatan langsung AS dalam konflik yang bisa mengarah ke babak baru sejarah dunia: Perang Dunia III.
Titik Didih Baru Konflik Global
Bukan hanya pengamat luar negeri, dari Indonesia pun suara kekhawatiran mulai bermunculan. Pengamat hubungan internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Dafri Agussalim, menyebut jika AS menyerang Iran, negara-negara besar lainnya kemungkinan besar ikut terlibat. Rusia, Tiongkok, bahkan Turki bisa saja turun tangan, mendukung Iran sebagai bentuk perimbangan kekuatan global.
"Kita bisa melihat potensi negara-negara Islam akan bersatu di belakang Iran. Dan jangan lupa, masalah ini bukan hanya tentang Iran, tapi juga tentang Palestina," ungkap Dafri sebagaimana dikutip dari Tribunnews, Minggu (23/6/2025).
Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tentu tidak akan bisa bersikap netral sepenuhnya. Sikap politik luar negeri bebas aktif akan diuji, apalagi di tengah peta global yang makin terbagi dua.
Ketika negara-negara besar sibuk menunjukkan otot, Presiden Prabowo justru memilih menghadiri undangan Presiden Rusia Vladimir Putin ketimbang Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Kanada. Langkah ini, menurut Dafri, menunjukkan bahwa Indonesia berusaha menjaga jarak dari blok barat. Apakah ini sinyal baru arah diplomasi kita?
Guru besar UI Hikmahanto Juwana, mengingatkan bahwa situasi bisa makin rumit jika Iran melakukan serangan balasan. Apalagi seperti yang beberapa hari belakangan terlihat, Tel Aviv dan Haifa sudah jadi target. Negara-negara lain pun akan terpaksa menentukan posisi, termasuk Indonesia.
Krisis yang Mengintai Indonesia
Di balik hiruk-pikuk konflik global, Indonesia nggak bisa jadi sekadar penonton. Menurut ekonom Achmad Nur Hidayat, negeri ini bisa terjerat dalam tiga krisis sekaligus: fiskal, moneter, dan sosial, sehingga harus segera mengambil kebijakan agar nggak ikut masuk dalam pusaran ketegangan militer ini.
Pasalnya, ada tiga ancaman krisis sekaligus yang mengintai Indonesia jika kondisi ini terus berlarut-larut apalagi semakin memburuk, yaitu:
Krisis Fiskal: Lonjakan harga minyak dan gas akan membuat subsidi energi membengkak. APBN bisa limbung jika tidak diimbangi penerimaan yang memadai.
Krisis Moneter: Inflasi akibat kenaikan harga impor dan pelemahan rupiah akan memaksa Bank Indonesia menaikkan suku bunga. Dunia usaha bisa melambat drastis.
Krisis Sosial: Harga kebutuhan pokok yang melonjak akan menekan daya beli masyarakat, memicu keresahan dan ketidakstabilan sosial.
"Yang terkena dampak paling parah tentu masyarakat kelas menengah ke bawah. Padahal konflik ini sama sekali bukan urusan mereka," ucap Achmad sebagaimana dinukil dari Liputan6, Minggu (23/6/2025).
Indonesia, sebagai negara nonblok dan bagian dari G20, tak bisa tinggal diam. Pemerintah harus aktif menyuarakan perdamaian di forum internasional dan bersiap dengan kebijakan ekonomi darurat. Ketergantungan pada energi fosil dari luar negeri perlu segera dikurangi. Energi terbarukan dan kebijakan pangan nasional perlu digenjot.
Sejarah mencatat, perang dunia bukan hanya soal senjata. Tapi juga soal peradaban yang berubah total. Jika konflik ini dibiarkan membesar, dampaknya bisa jauh lebih dalam dibandingkan dengan sekadar harga minyak atau nilai tukar, Millens. Bagaimana menurutmu? (Arie Widodo/E10)
