Inibaru.id – Meski sudah merdeka hampir 78 tahun, nyatanya masih ada beberapa hal dari zaman penjajahan yang masih digunakan di Indonesia. Salah satunya adalah penyebutan karesidenan.
Sadar nggak, penentuan huruf depan yang ada di pelat nomor kendaraan di Pulau Jawa sebagian besar masih dipengaruhi oleh pembagian karesidenan pada masa kolonial? Sebagai contoh, penggunaan plat R diberlakukan di wilayah eks-karesidenan Banyumas, H untuk wilayah eks-karesidenan Semarang, dan lain-lain.
Pembagian karesidenan ini kali pertama diterapkan saat Nusantara ada di bawah penjajahan Inggris, tepatnya saat Thomas Stamford Raffles jadi gubernur jenderal pada 1811. Tujuannya tentu saja demi memudahkan pengelolaan wilayah di Jawa.
Meski begitu, jangan kira pembagian residen atau pemilihan kepala residen berlangsung secara demokratis dengan pemillihan umum sebagaimana yang berlaku pada masa sekarang. Dulu, residen dipilih langsung oleh gubernur jenderal dan pasti dipegang oleh orang Eropa. Mereka punya kewenangan di tingkat legislatif, eksekutif, sampai yudikatif.
Para residen inilah yang kemudian memberikan perintah pada bupati-bupati yang masuk dalam wilayah karesidenannya. Nah, para bupati itu bisa berasal dari kalangan pribumi. Meski memimpin daerahnya, mau nggak mau para bupati itu juga harus mematuhi perintah residen.
Menariknya saat Belanda kembali mendapatkan kekuasaannya di Nusantara pada 1816, sistem karesidenan ini nggak dihilangkan. Gubernur jenderal van der Capellen bahkan mengukuhkan sistem administrasi tersebut dalam Peraturan Komisaris Jenderal Nomor 3 dengan tanggal 9 Januari 1819. Aturan ini juga dimasukkan dalam Staatsblad nomor 16 tahun 1819, Millens.
Nah, menurut Kompas, (11/7/2022), berikut adalah pembagian administrasi karesidenan yang berlaku di Pulau Jawa kala itu.
- Bagian barat Jawa: Bantam (Banten), Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Priangan, Cirebon.
- Bagian tengah Jawa: Pekalongan, Semarang, Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Jepara dan Rembang.
- Bagian timur Jawa: Surabaya, Besuki, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Madura dan Sumenep.
Setelah Indonesia merdeka, sistem ini memang akhirnya dihapus. Namun, banyak kebijakan yang tetap digunakan dengan mempertimbangkan wilayah karesidenan. Sebagai contoh, pengelolaan jaringan transportasi di Ibu Kota tetap memperhatikan daerah-daerah di sekitar Jakarta yang dulu masuk dalam wilayah Karesidenan Batavia.
Hal serupa juga berlaku di Semarang, tepatnya pada jaringan bus Trans Jateng yang juga menjangkau wilayah sekitarnya seperti Kabupaten Semarang, Kendal, Demak, dan Grobogan.
Bagaimana dengan di daerahmu, Millens? Apakah masyarakatnya masih sering menggunakan istilah karesidenan? (Arie Widodo/E10)