Inibaru.id - Suatu ketika, seorang teman yang merupakan perokok berat mampir ke tempat saya. Alih-alih mengeluarkan rokok kretek dari sebuah jenama terkenal kesukaannya, dia malah mengambil seplastik tembakau kering dan kertas rokok yang biasa disebut papir. Sejurus kemudian, dia menjemba sejumput tembakau, meletakkannya di atas papir, lalu mencoba melintingnya.
Dia tampak kesulitan melinting rokok "swakarya" yang kerap disebut tingwe tersebut. Mungkin karena baru pemula. Saat berhasil melinting sebatang rokok pun hasilnya nggak bisa dibilang memuaskan. Namun, sebuah ekspresi kepuasan terlihat betul di mukanya.
Menyaksikan kerempongan ini saya jadi paham, tingwe atau ngelinting dewe (melinting sendiri) bukan sekadar rokok yang diisap lalu keluar asap. Bagi sebagian orang, ada proses menarik di dalamnya yang nggak bakal didapatkan saat mereka menyesap rokok pabrikan.
Mungkin, ini pula alasan mengapa kios tembakau yang menjamur di berbagai tempat dalam dua tahun terakhir nggak pernah sepi pembeli. Seperti coffee shop yang disambangi karena jenis kopi dan proses pembuatannya yang menarik, kios tingwe juga menawarkan "kesenangan lain" yang lebih besar dari sekadar ngudud.
Tren Baru yang Lawas
Sebelum rokok pabrikan membanjiri pasar Indonesia seperti saat ini, masyarakat kita diyakini sudah menikmati tembakau sebagai rokok sejak abad ke-19. Bahkan, naskah Babad Tanah Jawi yang dibuat sebelum abad ke-18 telah menyebutkan rokok, yang disebut sebagai klobot, di dalamnya.
Bukan dengan papir sebagaimana ditemukan di Prancis pada 1830, rokok di Indonesia dilinting dengan kulit jagung atau klobot dengan tambahan cengkih. Rokok yang biasa disebut kretek ini dibuat secara manual alias tingwe, bukan buatan mesin seperti yang diproduksi masal di Eropa.
Jenama rokok Tjap Bal Tiga yang dikembangkan Nitisemito pada awal abad ke-20 kemudian menjadi ihwal mula perkembangan industri rokok di Tanah Air. Namun, kemudahan menikmati rokok pabrikan ini kemudian justru membuat pamor tingwe meredup.
Tanpa mengesampingkan orang-orang yang setia melinting rokok sendiri, isu tingwe setahu saya baru muncul saat rokok pabrikan dari luar negeri membombardir ke Indonesia. Sebagian orang "melawan" dengan membeli kretek lokal, sedangkan sisanya beralih ke tingwe.
Dua tahun terakhir, tingwe kian meningkat pamornya. Alasannya, harga rokok kemasan semakin melambung tinggi. Tren ini mencuat dengan "tampilan" yang lebih baru; kios tembakaunya modern, pemiliknya juga rata-rata masih tergolong muda.
Ngabdullah Radika, pengelola sebuah tobacco-cafe di kawasan Pecinan Semarang Mukti Café mengatakan, dirinya mengaku gembira dengan tren tembakau yang melonjak di Indonesia. Belasan tahun menikmati rokok tingwe, dia tahu betul gimana perkembangan tembakau di Tanah Air.
"Kalau saya bisa bilang, ini mulai masuk gelombang baru tembakau," terang pemuda yang mendirikan kafe yang memadukan kecintaan orang pada kopi dengan tembakau tersebut. "Sebelum ini, setahu saya penikmat tembakau ya nggak jauh-jauh dari orang tua.”
Mulai Diminati Anak Muda
Bertahun-tahun menikmati rokok tingwe, Radika mulai berpikir untuk memperkenalkan "budaya" Nusantara itu ke khalayak, khususnya anak muda. Inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya Mukti Café.
Setelah "merayu" pemilik bangunan tempat dia biasa membeli tembakau, Mukti berdiri pada 2014. Berbagai cara sudah ditempuhnya, mulai dari menjual tembakau dengan minimal pembelian yang terjangkau, hingga bersedia membantu pelanggan cafenya yang tertarik untuk belajar melinting.
Nah, beralihnya anak muda dari mengonsumsi rokok pabrikan ke tingwe belakangan ini, yang berimbas pada menjamurnya kios tembakau, tentu menjadi kesenangan tersendiri bagi Radika. Alih-alih tersaingi, dia justru merasa sangat terbantu dengan munculnya banyak kios tembakau di Semarang.
“Senang sekali. Tiap orang pasti punya ‘bahasa’ masing-masing dalam mengenalkan tembakau,” ujar Radika di kafenya, belum lama ini.
Menurut pemuda penyandang gelar sarjana Ilmu Komunikasi ini, tiap orang akan mengenalkan tembakau dengan caranya. Upaya-upaya inilah yang dia sebut sebagai "bahasa". Semakin beragam bahasa yang disampaiakn, tambahnya, semakin mudah pula masyarakat mengenal tembakau.
Karena Beragam Alasan
Menurut saya, ada dua paling umum yang dibicarakan orang saat memutuskan beralih ke tingwe. Yang pertama, tentu saja untuk melawan dominasi pabrik rokok dan memihak pada petani tembakau. Kedua, biasanya karena ngirit, karena harga rokok kemasan jauh lebih mahal ketimbang melinting sendiri.
Namun, Radika rupanya menemukan lebih banyak cerita kenapa orang memilih tingwe ketimbang rokok "konvensional". Dia yang cukup ramah menyapa pengunjung dan dengan senang hati meladeni obrolan seputar tembakau di kedainya itu tentu nggak mengalami kesulitan untuk mendapatkan cerita lebih beragam.
"Ada beberapa pengunjung yang masih menganggap tembakau hanya bisa digunakan untuk merokok," terang pemuda ramah ini. "Ya tentu saja salah!"
Nggak berhenti di situ, Radika mengaku tiap orang yang datang ke Mukti biasanya punya pandangan sendiri-sendiri di kepalanya. Misalnya, ada yang menghubungkan tembakau dengan perlawanan, pengobatan, kebudayaan, hingga pengiritan.
"Bahkan, ada juga yang mikirnya unik, misalnya tentang desas-desus konspirasi yang berputar di sekitar dunia pertembakauan," serunya, yang kemudian diikuti tawa lebar.
Kendati begitu, Radika mengaku tetap menghormati tiap alasan orang beralih ke tingwe. Dia juga nggak bisa menghakimi orang, karena mereka punya proses yang berbeda-beda sebelum akhirnya memuuskan untuk tertarik pada tembakau.
"Ya sudah, tiap orang punya alasan sendiri. Ini hanyalah awal perkenalan. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk lebih memperkenalkan produk khas Nusantara ini," tegasnya sembari matanya mengitari beberapa kursi di Mukti yang dipenuhi pengunjung.
Gelombang baru pencinta tingwe ini memang sebaiknya menjadi momentum yang dimanfaatkan betul untuk mengenalkan tembakau lokal di kalangan anak muda. Jangan sampai tren ini hanya sebatas bara di sebatang rokok: membara saat diisap, tapi hanya jadi asap dan abu saat diembus. (Bayu N/E03)