Inibaru.id - Kematian bagi orang Jawa bukan sekadar akhir kehidupan, melainkan awal dari perjalanan roh menuju alam berikutnya. Dalam pandangan mereka, duka bukan urusan pribadi, melainkan tanggung jawab sosial yang sarat unggah-ungguh, sopan santun, dan solidaritas. Semua dijalankan dengan tata cara yang penuh makna, seolah setiap detail ritual dirancang untuk menjaga harmoni, baik antara manusia dengan Tuhan maupun sesama.
Filosofi kematian dalam masyarakat Jawa nggak lepas dari akulturasi panjang antara ajaran Islam, Hindu-Buddha, dan nilai lokal. Karena itu, tradisi slametan atau kenduri kematian tetap dijalankan lintas keyakinan. Baik abangan, santri, maupun priyayi sama-sama melaksanakan tahlilan di hari ke-3, ke-7, ke-40, hingga ke-100.
Bagi orang Jawa, slametan bukan hanya doa bagi almarhum, tetapi juga cara menjaga keseimbangan sosial dan spiritual agar roh tenang dan keluarga yang ditinggalkan tetap kuat.
Salah satu ritual yang penuh makna adalah Brobosan, ketika keluarga berjalan di bawah keranda jenazah. Secara simbolis, ini menjadi doa agar perjalanan roh lancar, tapi secara emosional, Brobosan adalah ungkapan kasih sayang terakhir keluarga, bentuk perpisahan yang lembut, penuh keikhlasan.
Namun, yang membuat tradisi Jawa istimewa adalah hadirnya Sinoman, sebuah sistem gotong royong yang sudah mengakar sejak berabad-abad lalu. Tanpa perlu diminta, para tetangga datang membantu di rumah duka. Ibu-ibu menyiapkan hidangan, pemuda mendirikan tenda dan menyambut tamu. Tradisi ini bukan sekadar bentuk empati, tapi juga “asuransi sosial” agar keluarga nggak merasa sendirian dalam menghadapi kehilangan.
Bagi pelayat, unggah-ungguh tetap dijaga. Pakaian harus sederhana, warna hitam atau putih, tanpa perhiasan dan riasan mencolok. Sikap pun tenang dan nggak banyak bicara, sebab dalam kesunyian itu terselip penghormatan tertinggi. Bahasa Krama Inggil digunakan untuk mengucapkan belasungkawa, seperti “Nderek belasungkawa, mugi Gusti Allah paring kekiyatan”, doa yang sederhana namun sarat empati.
Selain dukungan doa dan kehadiran, masyarakat juga mengenal uang lelayu, bentuk gotong royong materi untuk meringankan beban keluarga berduka. Tradisi ini menunjukkan bahwa kepedulian sosial bukan hanya dalam kata, tapi juga tindakan nyata.
Etika berkabung a la orang Jawa sejatinya bukan tentang kematian itu sendiri, tapi tentang kehidupan yang terus dijaga dengan harmoni. Dalam duka, mereka tetap menegakkan nilai hormat, gotong royong, dan ketenangan. Sebuah pelajaran berharga bahwa bahkan di tengah kehilangan, orang Jawa tetap menaruh keindahan dalam kesedihan karena bagi mereka, rasa hormat adalah bentuk cinta yang abadi. (Siti Zumrokhatun/E05)
