Inibaru.id - Kalau kamu berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jangan heran kalau tidak menemukan istilah “kecamatan” atau “desa” pada papan nama kantor pemerintahan. Bukan salah tulis, lo. Memang sejak 2020 lalu, istilah-istilah tersebut nggak lagi dipakai di sana.
Perubahan ini bukan sekadar gaya-gayaan, tapi bagian dari amanat UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dalam aturan itu, Yogyakarta diberi ruang untuk menghidupkan kembali nuansa tradisi keraton, termasuk lewat penyebutan wilayah. Jadi, kalau di tempat lain kamu masih mendengar istilah camat, kepala desa, atau sekretaris desa, di Jogja namanya sudah berbeda.
Dari Kecamatan Jadi Kapanewon dan Kemantren
Di kabupaten-kabupaten seperti Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo, kecamatan sekarang dikenal dengan nama kapanewon. Pemimpinnya disebut panewu, sedangkan sekretarisnya dikenal dengan istilah panewu anom.
Sementara itu, di Kota Yogyakarta, istilah kecamatan diganti dengan kemantren. Pimpinan wilayahnya bernama mantri pamong praja, dan wakilnya adalah mantri anom. Nama-nama ini terasa akrab dengan istilah tata kelola ala keraton, ya?
Desa Jadi Kalurahan
Nah, kalau di wilayah kabupaten, istilah desa resmi berubah menjadi kalurahan. Kepala desa kini dipanggil lurah, sekretaris desa disebut carik, dan perangkat desa dikenal dengan istilah pamong desa. Beberapa jabatan juga menggunakan istilah tradisional seperti jagabaya untuk urusan pemerintahan, ulu-ulu untuk kesejahteraan, hingga kamituwa untuk pelayanan masyarakat.
Namun, untuk wilayah Kota Yogyakarta, istilah kelurahan tetap dipakai. Jadi, jangan bingung kalau mendapati perbedaan penyebutan antara kota dan kabupaten di DIY.
Mungkin ada yang bertanya, “Lho, kalau cuma ganti nama, apa bedanya dengan daerah lain?” Jawabannya, perbedaan ini erat kaitannya dengan Dana Keistimewaan. Dana khusus dari APBN tersebut hanya bisa dikelola dengan aturan kelembagaan yang sesuai nomenklatur baru. Jadi, perubahan nama ini penting agar pemerintahan DIY bisa sah secara hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Selain itu, perubahan ini juga menjadi cara untuk menjaga kekhasan budaya Jogja. Dengan memakai istilah tradisional, masyarakat diingatkan kembali bahwa DIY punya sejarah panjang dan posisi istimewa di Indonesia.
Contoh dari penggunaan istilah unik ini bisa kamu temukan di Sleman, Gez. Nggak ada lagi Desa Sinduadi di Kecamatan Mlati. Yang ada adalah Kalurahan Sinduadi dan Kapanewon Mlati. Kedengarannya unik, kan? Seperti inilah cara Jogja menjaga tradisinya di tengah modernisasi.
Perubahan ini memang butuh waktu untuk dibiasakan. Banyak orang luar Jogja yang awalnya kebingungan, bahkan warga lokal pun masih sering keliru menyebut. Namun lama-kelamaan, istilah kapanewon, kemantren, dan kalurahan bakal terdengar akrab di telinga.
Yah, beginilah Jogja. Selalu punya cara untuk menunjukkan keistimewaannya, bahkan lewat istilah administratif sekalipun. Unik banget ya, Gez? (Arie Widodo/E07)
