Inibaru.id - Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak (Gemar) belakangan menjadi perbincangan luas di ruang publik. Kebijakan ini memantik pro dan kontra, terutama terkait efektivitasnya serta potensi dampaknya bagi anak-anak dari keluarga dengan kondisi "non-ideal".
Namun di balik polemik tersebut, Gemar sejatinya membuka diskursus penting tentang arah kebijakan pengasuhan dan pendidikan keluarga di Indonesia, asalkan sifatnya nggak sekadar imbauan normatif dan simbolik.
Di Kota Semarang, imbauan tersebut mengemuka disertai Surat Edaran Nomor: B/6711/400.3.1/XII/2025 tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah (Gemar).
Sementara itu, di tingkat nasional, kebijakan ini tertera dalam Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN RI Nomor 14 Tahun 2025, serta Surat Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah Nomor B-1600/PK.02.01/J12/2025 tertanggal 15 Desember 2025.
Rangkaian kebijakan ini menandakan bahwa Gemar seharusnya merupakan bagian dari strategi pembangunan keluarga, bukan kebijakan spontan tanpa kerangka.
Membidik Keterlibatan Ayah
Latar belakang utama lahirnya Gemar adalah meningkatnya perhatian terhadap minimnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Istilah fatherless—terlepas dari perdebatan statistiknya—kini menjadi isu sosial yang semakin disadari dampaknya.
Berdasarkan berbagai riset, ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan berdampak terhadap perkembangan emosional, karakter, dan keberlanjutan pendidikan anak. Dalam konteks ini, kehadiran ayah nggak lagi dipahami sebatas pemenuhan ekonomi, tapi juga keterlibatan langsung dalam proses pendidikan.
Kritik yang kerap muncul terhadap Gemar berfokus pada efektivitas kebijakan. Apakah kehadiran ayah yang bersifat insidental, misalnya mengambil rapor, cukup untuk mendorong perubahan pola pengasuhan yang lebih setara?
Pertanyaan ini valid. Namun, dalam kerangka kebijakan publik, perubahan perilaku sosial jarang lahir dari intervensi besar sekaligus. Ia sering dimulai dari langkah-langkah kecil yang berfungsi sebagai pemicu kesadaran.
Gemar dapat dipahami sebagai kebijakan pintu masuk (entry point policy) yang bertujuan untuk menormalisasi kehadiran ayah dalam ruang pendidikan anak. Kehadiran ayah di sekolah, meskipun terbatas pada momen tertentu, berpotensi membuka relasi baru antara ayah, guru, dan institusi pendidikan.
Dari relasi inilah kesadaran peran dapat tumbuh, yang dalam jangka panjang diharapkan mampu memengaruhi praktik pengasuhan di rumah.
Dianggap Kurang Inklusif
Kelompok yang menolak Gemar umumnya mengangkat isu inklusivitas, terutama bagi anak yatim, anak dari keluarga bercerai, atau keluarga dengan kondisi kerja jarak jauh. Dari sudut pandang ini, nggak salah jika ada yang mengatakan bahwa kebijakan ini kurang inklusif.
Pendapat itu nggak terbantahkan. Kekhawatiran terhadap potensi dampak psikologis pada anak ini juga patut dihargai. Namun, menempatkan isu ini sebagai alasan utama penolakan kebijakan tersebut justru berisiko mengaburkan tujuan awal Gemar.
Secara kebijakan, Gemar ditujukan bagi keluarga yang masih memiliki figur ayah dan ibu. Ini bukan bentuk pengabaian terhadap keluarga non-ideal, melainkan penetapan sasaran kebijakan yang jelas.
Justru dengan adanya Gemar, sekolah dan orang dewasa didorong untuk lebih peka terhadap keragaman kondisi keluarga sekaligus membuka ruang dialog dengan anak-anak tentang situasi hidup mereka; sesuatu yang selama ini kerap terlewatkan.
Alih-alih meniadakan kebijakan karena dianggap nggak mencakup semua kondisi, pendekatan yang lebih produktif adalah memperkuat kebijakan pendampingan bagi anak-anak dengan latar keluarga khusus. Dengan begitu, ia justru berjalan berdampingan dengan kebijakan perlindungan dan penguatan psikososial anak, kan?
Keterlibatan Ayah Bukan Konsep Baru
Dalam praktik pendidikan, keterlibatan ayah sejatinya bukan konsep baru. Sejumlah institusi pendidikan telah lama menempatkan ayah sebagai aktor utama dalam pendidikan keluarga, bahkan menjadikannya syarat dalam momen-momen evaluasi belajar anak.
Praktik ini menunjukkan bahwa ketika kebijakan pendidikan dan pengasuhan berjalan beriringan, peran ayah dapat diperkuat secara struktural, bukan hanya moral.
Di titik inilah Gemar perlu dibaca secara lebih strategis. Kebijakan itu nggak akan pernah cukup kalau hanya berhenti pada seremonial kehadiran ayah di sekolah. Ia harus diikuti dengan narasi kebijakan yang konsisten, dukungan institusional dari sekolah, serta literasi pengasuhan yang menempatkan ayah dan ibu sebagai mitra setara dalam pendidikan anak.
Mengambil rapor anak seharusnya dimaknai sebagai momen refleksi bersama antara orang tua dan sekolah tentang proses belajar, perkembangan karakter, dan kualitas pendampingan di rumah. Bukan sekadar evaluasi nilai akademik, tetapi juga ekosistem pengasuhan.
Dengan segala keterbatasannya, Gemar membuka ruang penting bagi transformasi budaya pengasuhan di Indonesia. Tantangannya bukan pada ada atau tiadanya kebijakan, melainkan pada keberanian negara dan masyarakat untuk menjadikannya sebagai pintu masuk perubahan yang lebih substansial.
Jika kebijakan itu bisa menjadi batu pijakan untuk bertolak dari pola pengasuhan yang timpang menuju keterlibatan orang tua yang lebih adil, sadar, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak, kenapa tidak? (Marita Ningtyas/E10)
