Inibaru.id – Hari yang cerah adalah berkah terbesar bagi Kuswati. Nggak hanya dia, mungkin juga seluruh petani garam di Desa Jono, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ya, Para Kuswati dkk memang masih "menyembah" matahari untuk urusan produksi garam.
Kendati kediaman Kuswati jauh dari lautan, bahkan Grobogan nggak punya garis pantai, sudah sejak lama dia dan penduduk Desa Jono mendaku sebagai petani garam. Menurut Kuswati, produksi garam di desa ini sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Bukan dari air laut, air asin didapatkannya dari sebuah sumur.
Sumur yang dimaksud Kuswati sudah berusia sangat tua. Airnya panas. Butuh waktu 10-15 hari untuk menjemur air sumur yang dikeringkan di bawah terik matahari. Namun, sebelum itu, masih ada beberapa proses yang harus dilalui.
Proses Panjang, Hasil Kurang
Para petani memulai produksi garam dengam menimba air asin di sumur, lalu mengalirkannya melalui paralon ke sebidang kolam untuk didinginkan. Setelah itu, air dipindahkan ke bambu-bambu panjang yang sudah dibelah dua untuk dijemur.
"Setelah 10-15 hari, air akan mengering dan menghasilkan kristal garam," ujarnya, Oktober 2021.
Baca Juga:
Tusuk Satai, Sumber Rezeki Warga BloraPada musim kemarau atau saat matahari bersinar terik sepanjang hari, proses penjemuran air garam hanya butuh waktu 10 hari. Situasinya akan berbeda kalau curah hujan tinggi. Selain lama keringnya, mereka juga harus menutup kolam dengan terpal agar air garam nggak tercampur dengan air hujan.
Jika sudah kering dan hanya tersisa butiran garam, petani tinggal memanen hasilnya. Sekali panen mereka bisa menghasilkan nggak kurang dari 50 kilogram garam, bahkan mencapai 100 kilogram. Namun, pada musim penghujan paling-paling mereka memanen 10 kilogram.
Pada 2021, sekali panen Kuswati bisa mendapatkan uang sekitar Rp 500 ribu. Pembelinya datang dari Grobogan dan sekitarnya, bahkan sampai Brora dan Yogyakarta. Namun, pendapatannya nggak bisa dibilang memadai, karena dalam sebulan dia hanya bisa dua kali panen.
Mulai Ditinggalkan?
Pendapatan para petani garam umumnya hanya cukup untuk makan sehari-hari, padahal modal yang harus mereka keluarkan untuk memulai usaha ini terbilang besar; sekitar Rp 2,5 juta hanya untuk membeli 50 batang bambu.
Oya, para petani garam tersebut menggunakan bambu sebagai wadah air garam karena awet dan mampu meningkatkan produksi. Untuk bambu, mereka memakai pring petung atau bambu betung (Dendrocalamus asper) yang memiliki lingkar batang cukup besar dan berkualitas tinggi.
"Bambu betung bisa bertahan cukup lama, antara satu sampai dua tahun," tutur Kuswati.
Hingga kini, uniknya produksi "garam darat" di Grobogan masih bisa kamu lihat sendiri. Kalau kebetulan sedang melintas di jalur utama Purwodadi-Blora, Desa Jono berada di kanan jalan. Namun, kondisinya sudah jauh berbeda, karena banyak yang memilih mengeringkan kolam.
“Dulu, banyak yang produksi garam, tapi sekarang (kolam garam) sudah jadi rumah," ujar perempuan berusia 40-an tahun tersebut. "Anak muda pun jarang yang mau jadi petani garam.”
Produksi garam di Grobogan agaknya memang butuh perhatian lebih. Unik, tapi tanpa generasi penerus dan hasil yang memadai, mungkin suatu hari judul artikel ini perlu diganti: Uniknya Bekas Produksi Garam di Grobogan, Kabupaten Tanpa Garis Lautan.
Duh, semoga nggak bakal terjadi ya, Millens! (Det/IB09/E03)