Inibaru.id - Marning, kletikan kriuk dari jagung kering, menjadi salah satu kuliner tradisional yang berhasil melintasi zaman di Indonesia. Hingga kini, keberadaannya mampu bersanding dengan camilan modern yang dipasarkan dengan kemasan yang jauh lebih menarik.
Terkstur yang renyah. rasa yang asin, aroma jagung yang khas, dan harga yang terjangkau membuat kletikan ini terus diminati masyarakat. Namun, tahukah kamu bahwa di balik kesederhanaan bentuk dan rasa marning, ada proses pembuatan yang sejatinya sangatlah kompleks?
Nah, kalau pengin tahu lebih jauh tentang cara pembuatan marning jagung ini, berkunjunglah ke Desa Jurang yang ada di Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Di sini, ada satu sentra pembuatan marning yang masih diproduksi secara manual.
Nggak hanya mengandalkan ketelitian, kesabaran, dan keterampilan tangan, pembuatan marning di sini sangat membutuhkan kepandaian membaca alam, khususnya dalam hal penjemuran, proses paling awal untuk membuat camilan renyah ini.
Menjemur biji jagung adalah salah satu bagian terpenting dari rangkaian panjang pembuatan marning. Tahapan ini membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Prosesnya juga nggak bisa dipercepat karena sepenuhnya tergantung pada cuaca dan ketersediaan sinar matahari, sebagaimana dikatakan Yulianto.
"Untuk menghasilkan tekstur marning yang baik, proses penjemuran jagung perlu diperhatikan, ini benar-benar menjadi tantangan tersendiri," tutur lelaki yang telah bertahun-tahun bekerja di tempat pembuatan marning di Desa Jurang tersebut saat dijumpai Inibaru.id beberapa waktu lalu.
Dia kemudian mulai menjelaskan proses pembuatan marning dari awal. Setelah dipereteli (dirontokkan hingga menjadi bulir-bulir), biji jagung dicuci hingga bersih, direbus, lalu dijemur sampai kandungan airnya hilang atau benar-benar kering. Proses penjemuran ini bisa berlangsung selama 2-3 hari.
"Penjemuran ini harus benar, karena kalau kurang kering akan berpengaruh pada kualitas maring; hasilnya tidak akan renyah," jelas Yulianto.
Berdampingan dengan Alam
Jika cuaca mendukung, proses penjemuran jagung memang bisa berlangsung lancar, yakni antara 2-3 hari. Yulianto mengungkapkan, proses ini biasanya bisa berjalan mulus pada musim kemarau karena terik matahari nggak terjeda. Sebaliknya, tantangan terbesar terjadi pada musim penghujan.
"Kalau mendung atau hujan jagung nggak bisa dijemur; harus nunggu cerah lagi, padahal kami berpacu dengan waktu. Jika nggak kering-kering, jagung bisa rusak atau lembek, yang membuatnya nggak renyah pas digoreng,” keluhnya.
Nggak berhenti di situ, dia menambahkan, proses penjemuran ini membutuhkan penanganan khusus. Yulianto mengungkapkan, dirinya harus membolak-balik jagung secara berkala selama menjemur agar semua sisi terkena sinar matahari langsung secara merata.
"Pekerja di sini akan membolak-balik jagung agar kering secara merata dan tiap sisinya terpapar sinar matahari langsung," paparnya.
Selain terik matahari, menurut Yulianto, kondisi alam yang juga akan sangat memengaruhi keberhasilan penjemuran jagung untuk dijadikan marning adalah angin. Dia mengatakan, angin yang bagus akan membuat proses pengeringan jagung merata lebih cepat.
"Angin yang bagus bikin (proses pengeringan) lebih merata dan cepat, tapi kalau terlalu kuat justru harus hati-hati karena jagung bisa beterbangan," tukasnya, lalu tersenyum.
Jadi, dia menyimpulkan, proses penjemuran jagung ini merupakan bagian dari cara manusia berdampingan dengan alam, karena nggak bisa dimungkiri bahwa pekerjaannya memang sangatlah bergantung pada kondisi cuaca saat itu.
"Proses penjemuran ini nggak bisa dipercepat. Sembari menunggu kering, kami akan melakukan pekerjaan lain seperti mempersiapkan bumbu (marning) atau membersihkan jagung," terangnya.
Kualitas Tak Bisa Ditawar
Marning jagung di Desa Jurang memang telah dikenal luas oleh masyarakat. Nggak hanya sekitar wilayah Kudus, para pelanggannya datang dari pelbagai daerah. Nah, karena alasan inilah Yulianto dkk mengaku nggak bisa bermain-main dengan kualitas marning bikinan mereka.
"Pembuatan marning ini seperti tradisi yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kalau sembarangan, pelanggan pasti tahu. Jadi, kami harus jaga kualitas untuk jaga kepercayaan pelanggan," akunya. "Marning ini (makanan) sederhana, tapi kualitasnya nggak bisa main-main."
Apa yang dikatakan Yulianto memang nggak keliru. Nggak sedikit orang yang sengaja datang dari luar kota hanya untuk membeli marning di Desa Jurang, salah satunya Sutikno. Pelanggan asal Kabupaten Pati ini mengatakan, produk buatan desa ini memiliki rasa yang nggak tergantikan.
"Marning di sini lebih enak. Renyah dan tidak keras. Mungkin karena proses penjemurannya memang benar-benar diperhatikan," terang lelaki 45 tahun tersebut saat bertemu Inibaru.id di sentra produksi marning di Desa Jurang, baru-baru ini.
Di tengah menjamurnya camilan modern yang begitu variatif dengan berbagai pilihan rasa, kemasan, dan harga, keberadaan marning jagung memang menjadi sebuah anomali tersendiri. Posisinya seolah nggak tergantikan, kendati bentuknya nggak banyak mengalami perubahan.
Mungkin memang bentuknya yang autentik inilah yang menjadi daya tariknya. Tanpa konsistensi rasa, tentu saja kudapan yang cocok dimakan sembari menonton bola atau nongkrong bareng teman-teman tersebut akan tergerus juga.
Namun, agaknya Desa Jurang berhasil menjaga warisan kuliner ini dengan baik, bahkan mampu merawatnya hingga menjadi magnet tersendiri bagi banyak orang. Semua ini adalah imbas dari ketekunan dan keinginan untuk menjaga tradisi terus berdampingan dengan alam.
Kalau suatu hari kamu menikmati marning, bisa jadi itu adalah buah karya dari Desa Jurang, yang melalui proses panjang penjemuran dan menyimpan kehangatan dari tangan-tangan yang telaten mengolahnya. (Imam Khanafi/E03)