Inibaru.id - Burung adalah binatang bersayap yang secara alami bisa terbang. Sayangnya, mereka acap dipiara dengan dikurung. Padahal, beberapa jenis burung bisa dilatih menjadi piaraan jinak yang nggak akan meninggalkan pemiliknya kendati dibiarkan terbang bebas tanpa dikekang atau dikurung.
Cara "menikmati" keindahan burung dengan membiarkan mereka terbang bebas ini dikenal dengan istilah free fly. Mereka dibiarkan terbang di alam terbuka, tapi sebelumnya dilatih agar mengenali dan mau kembali saat dipanggil namanya atau mendengar suara tertentu dari sang pemilik.
Di Kota Semarang, ada satu komunitas pencinta burung free fly yang belum lama ini saya jumpai tengah ngumpul di kawasan wisata Brown Canyon, Kelurahan Rowosari, Kecamatan Tembalang. Mereka mendaku diri sebagai Lovebird Parkit Free Flight Semarang (LPFS).
Komunitas yang berdiri pada 2019 lalu itu memang menjadikan Brown Canyon sebagai titik kumpul. Lokawisata yang merupakan bekas tambang Galian C sengaja dipilih karena lokasinya luas dan terdiri atas tebing-tebing tinggi. Perjumpaan dilakukan dua kali seminggu untuk sharing dan latihan free fly.
Mayoritas Paruh Bengkok
Menyambangi kumpulan rutin LPFS pada Minggu (28/11/2021), saya melihat hampir semua anggota membawa burung mereka masing-masing. Mayoritas burung piaraan itu adalah jenis burung paruh bengkok. Beberapa di antaranya adalah jenis parkit, lovebird. nuri, dan kakatua.
Namun begitu, Ketua LPFS Aris Reso Setiadi menampik anggapan bahwa burung free fly haruslah jenis paruh bengkok. Menurutnya, kendati paruh bengkok menjadi jenis burung paling lazim untuk free fly, sebagian jenis paruh lurus juga bisa dilatih.
"Ada juga burung paruh lurus, walau sedikit," tutur pemuda yang kerap mengenakan topi itu. "Misal, burung kekep babi dan swallow.”
Lebih jauh, sosok yang juga merupakan pencetus LPFS tersebut juga mengiyakan bahwa sebagian anggota LPFS memilih burung paruh bengkok sebagai jagoan mereka karena dianggap paling mudah dilatih free fly. Namun, untuk jenisnya bisa sangat beragam.
Oya, selain burung dan kandang, sebagian besar anggota juga biasa membawa peluit yang dikalungkan di leher untuk memanggil burung kembali. Mereka juga biasa menenteng spet atau suntikan besar berisikan pakan burung bertekstur seperti bubur sebagai reward sekaligus isi ulang energi.
Risiko Kehilangan
Menjadikan free fly sebagai hobi bukannya tanpa risiko. Kemungkinan terbesar yang bisa terjadi tentu saja adalah burung yang nggak kembali saat dilepaskan dari sangkar. Para anggota LPFS menyebutnya dengan istilah "escape".
"Nah, komunitas ini dibuat agar para anggotanya mau saling membantu saat ada burung yang escape saat diterbangkan," kata Aris.
Bersama teman-teman, dia mengaku bakal berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan burung-burung anggota yang hilang. Khusus untuk burung-burung mahal, dia juga memberi saran agar mereka pasang GPS.
"Ya, tapi kalau sudah benar-benar hilang saya minta mereka ikhlaskan, karena habitat asli burung memang di alam bebas,” kelakar dia sembari memberi makan burung-burung yang dibawanya.
Kehilangan Burung Ratusan Juta
Sedang asyik menikmati kelincahan burung-burung molek yang dibiarkan bebas di Brown Canyon, seluruh anggota LPFS dikejutkan dengan insiden hilangnya satu burung anggota. Burung bayan kepunyaan salah seorang anggota bernama Untung itu escape setelah mengejar seekor burung liar.
Suasana pun heboh seketika karena yang hilang adalah jenis harlequin macaw yang harganya selangit. Beruntung, burung bernama Marco itu bisa kembali ke tangan sang pemilik setelah dikejar memakai dua sepeda motor. Saat ditemukan, Marco tengah berjalan santai di tanah bagian lereng agak ke bawah.
“Saat melihat burung sudah terbang agak jauh, pemilik seharusnya sigap untuk segera memanggil atau meniup peluit agar burung segera kembali,” tegas Aris begitu insiden kehilangan burung itu berhasil diatasi.
Risiko kehilangan burung, lanjutnya, bisa ditanggulangi salah satunya dengan meminimalisasi kelalaian-kelalaian dalam mengawasi burung free fly kepunyaannya sendiri. Para anggota juga harus segera tanggap kalau ada burung yang hilang. Terakhir, tentu saja dengan memasang GPS.
Ratusan Ribu hingga Ratusan Juta
Untung mengaku lega begitu Marco bisa kembali ke tangannya karena jenis burung yang dihasilkan dari persilangan antara Makaw Biru dan Emas serta Makaw Sayap Hijau itu merupakan satu-satunya burung free fly yang dimilikinya. Dia membeberkan, piaraan tersebut dibeli dengan harga Rp 150 juta.
Di kalangan pencinta burung paruh bengkok, burung makaw, terkhusus harlequin macaw, memang jadi salah satu primadonanya. Untung mengatakan, saat kali pertama belajar free fly, dia nggak serta-merta memakai makaw, tapi jenis burung yang lebih kecil, yakni parkit dan lovebird seharga Rp 100 ribu.
"Nggak mau ambil risiko, jadi pakai yang murah; nggak bikin kantong bolong kalau mati atau hilang," akunya, menyarankan.
Dari parkit Rp 100 ribuan, dia kemudian naik level ke falk, parkit Australia yang umumnya dibanderol Rp 500-an ribu. Kalau pengin upgrade, bisa beli nuri atau sun conure seharga Rp 2,5 juta. Terus, untuk level maksimal barulah jenis makaw.
Ah, sungguh menarik! Oya, gambaran dari Untung hanyalah harga kasar. Berdasarkan obrolan di LPFS, sejatinya nggak ada patokan harga yang pasti, karena semuanya tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Gimana, tertarik meminang burung-burung free fly ini juga, Millens? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)