Inibaru.id - Empat puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk setia pada satu profesi. Melalui perjalanan beberapa dekade itu, banyak hal yang pasti akan berubah, mulai dari kawan sejawat, cara kerja, hingga penghasilan mereka. Beberapa orang bertahan, sisanya tumbang.
Tumbang bukanlah jalan yang dipilih Wahidin. Bersama segelintir rekan sejawatnya yang tersisa, lelaki 65 tahun itu setia menarik becak, profesi yang sudah dilakoninya sejak 1980-an. Baginya, becak memang bukan sekadar alat pencari nafkah, tapi juga "kawan lama".
Kendati belakangan "kawan lama" itu lebih sering mengecewakan karena nggak lagi bisa banyak menghasilkan uang, Wahidin mengaku yang akan terus menemuinya. Dia mengatakan, belum ada niat di benaknya untuk berhenti dari menarik kereta roda tiga tersebut
“Ya, saya susah senang bareng dia," tutur lelaki yang ditemui Inibaru.id belum lama ini saat sedang ngiyup di pinggir Jalan Dr Cipto Semarang. Tangannya menunjuk becak kepunyaannya yang tampak sudah agak usang. "Kebersamaan kami banyak, termasuk merasakan gimana zaman berubah."
Di tengah lesunya profesi tukang becak dan banyaknya teman sejawat yang memilih pensiun atau banting setir, Wahidin mencoba bertahan. Dia bahkan memilih bergeming saat keluarga berkali-kali memintanya berhenti. Usia yang sudah senja menjadi alasan utama mereka menyuruh dia pensiun.
Wahidin tahu, dia sudah tua dan penghasilan sebagai penarik becak nggak seberapa. Namun, dia tetap saja menolak permintaan keluarganya. Menurutnya, lebih enak beristirahat di pinggir jalan bersama becaknya ketimbang harus berdiam diri di rumah dan nggak melakukan apa-apa.
"Bingung mau ngapain kalau harus berhenti jadi tukang becak," seru lelaki paruh baya asal Gayamsari itu tercekat, lalu tertawa kecut.
Sepuluh Ribu Nggak Masalah
Wahidin memang nggak berharap segera pensiun dari profesi sebagai tukang becak. Walau pelanggan becak jauh menyusut dan persaingan dengan ojek daring kian timpang, dia mengaku nggak peduli. Yang terpenting baginya adalah tetap keluar rumah, sembari berharap bisa pulang dengan membawa uang.
“Sepuluh ribu (Rp 10 ribu) nggak masalah. Yang penting tetap usaha untuk beliin cucu jajan,” ujarnya sungguh-sungguh.
Hal serupa juga dirasakan Ayub, penarik becak dari Semarang yang telah menjalani profesi tersebut selama puluhan tahun. Dia mengaku nyaman dengan pekerjaannya sebagai tukang becak dan berharap bisa melakukan rutinitasnya, seperti mengayuh atau tidur siang di atas becak, lebih lama lagi.
Stamina kakek kelahiran 1955 itu memang sudah nggak lagi prima, pendengarannya juga mulai terganggu, dan penyakit dalam menggerogoti tubuhnya. Namun, dia enggan menyerah dan tetap berusaha menjalani hari-hari sebagai penarik becak.
"Saya pilih tetap berangkat pagi pulang malam meski hasilnya sering mengecewakan," terang Ayub terbata-bata. Wajahnya sayu dan matanya terlihat kepayahan.
Oya, Ayub biasanya mulai mengayuh pedal becaknya sejak pagi. Berangkat pukul 07.00 WIB, dia akan menghabiskan sebagian waktunya dengan berkeliling, berharap ada orang yang membutuhkan jasanya. Jika lelah, dia akan rehat sejenak dan baru pulang ke rumah menjelang Magrib.
"Sekaang ini cuma mangkal (di satu tempat untuk dapat penumpang) hampir mustahil. Untuk jemput rezeki ya harus keliling dari satu jalan ke jalan lain," ujar lelaki yang kadang menyalahkan ojek daring sebagai biang sepinya penumpang becak tersebut.
Kendati sudah berjam-jam berkeliling, nggak ada jaminan Ayub bakal dapat penumpang. Bahkan, kerap kali dia cuma dapat peluh dan capai selama seharian, sedangkan kursi penumpang nggak sekalipun terisi. Kendati begitu, dia tetap lebih memilih bekerja karena sudah terlalu akrab dengan profesi itu.
“Kalau sehari nggak naik becak malah terasa aneh. (Becak itu) sudah seperti belahan jiwa!” kelakar lelaki penyuka musik koplo yang sudah menarik becak sejak usia 20-an tahun tersebut.
Wah, keren! Kendati sering dikecewakan, mereka masih saja setia dengan "kawan lama" ya! Sosok-sosok pejuang di atas roda tiga ini agaknya bisa menjadi anutan, bahwa perasaan kalah hanyalah dimiliki orang-orang yang menyerah. Ha-ha. (Bayu N/E03)