Inibaru.di - Jauh sebelum istilah thrift shop dikenal luas, orang Semarang mengenal awul-awul, pasar baju bekas yang dijual di Lapangan Simpanglima tiap akhir pekan. Jualannya disebut awul-awul karena baju-baju tersebut sekadar ditumpuk di wadah besar atau digantung memakai hanger alakadarnya.
Yang dijual di pasar yang sempat dipindahkan ke belakang Gubernuran dan sepanjang Jalan Ki Mangunsarkoro itu sudah pasti bukan barang baru. Namun, kalau beruntung, kamu bisa mendapatkan pakaian keluaran merek ternama dengan harga yang sangat miring.
Para pemburu baju bekas ini dari berbagai kalangan usia dan tanpa batasan kelas. Namun, paling banyak memang tetaplah para mahasiswa yang pengin gaya tapi mentok di harga. Ha-ha.
Sekitar 2011-an, tren berburu baju second mulai naik kelas. Baju bekas yang sebutannya berganti menjadi preloved pun nggak cuma dijual di semacam pasar awul-awul, tapi juga telah merambah olshop, distro, dan toko baju.
Setahun terakhir, masyarakat, khususnya kalangan anak muda, mengenal istilah thrift shop atau thrift store. Thrifting, dalam kamus urban, berarti berburu barang bernilai tinggi dengan harga murah. Di Indonesia, istilah itu kemudian dipersempit hanya berlaku untuk perburuan baju bekas.
Baju bekas, preloved, atau thrift, mengandung pengertian yang sama. Namun, ada sedikit perbedaan di antara ketiganya. Baju bekas adalah semua baju yang pernah dipakai orang, sedangkan preloved adalah barang pribadi yang nggak lagi dipakai, lalu dijual. Sementara, istilah terakhir adalah barang bekas apa pun diburu karena value atau nilainya yang tinggi.
Value Pertama: Merek
Gepeng, pemilik thrift shop Gep Second Store, mengakui bahwa dirinya menjual baju berdasarkan mereknya. Menurutnya, lebih baik membeli barang second, tapi asli. Sebelum memutuskan membuka thrift shop, Gepeng adalah penggemar barang-barang thrift.
Lelaki asal Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, itu telah menyukai barang bekas sejak duduk di bangku SMP. Nggak sekadar barang bekas, dia juga memprioritaskan diri pada kualitas.
Ya itu, lebih baik beli second, tapi original," kata dia, yang kala itu sudah menyadari ada potensi barang bekas bisa diolah dan dijual kembali.
Gepeng mulai berjualan barang thrift waktu SMA, sekitar 2010. Namun, dia sempat mandek karena kesibukan bekerja. Dia baru menyeriusi membuka thrift shop pada April 2020 dengan barang dagangan utama celana, baju-baju flanel, dan topi.
Dia mengaku mendapatkan barang-barang thrift dengan mengambil langsung dari pembeli barang bekas "bal-balan". Pembeli bal-balan adalah pembeli partai besar yang membeli pakaian bekas karungan. Inilah cikal bakal penjual awul-awul.
Dari pembeli bal-balan itu, Gepeng dan kawan-kawan kemudian menyortir pakaian yang seabrek itu, lalu memilih yang ingin dibeli untuk dijual kembali. Kebetulan, dia mengenal salah seorang pembeli bal-balan di kotanya.
Untuk menyortir, thrifter (istilah untuk pemburu barang thrift) harus paham merek-merek fesyen kenamaan yang dipastikan harga beli barang barunya sangat mahal. Yap, karena inilah yang nantinya bakal dijual lagi.
"Barang mahal, bekas, dijual dengan harga murah,” terang Gepeng, menjelaskan cara kerjanya sebagai penjual barang thrift.
Setelah mendapatkan barang yang diinginkan, Gepeng juga mengecek kekurangan barang bekas itu. Dia kadang memperbaiki barang tersebut, misal menambahkan perekat topi yang lepas. Kalau nggak memungkinkan untuk diperbaiki, dia bakal menjelaskan apa adanya.
Menurutnya, barang thrift hampir dipastikan nggak utuh 100 persen. Pembeli juga bakal paham dengan kondisi ini.
“Saya pasti bilang, minusnya ini-ini," kata Gepeng. "Kalau orang sudah suka barang itu, ya bakal tetap dibeli."
Value Kedua: Vintage
Serupa dengan Gepeng, Nur Muhammad Tahajudin juga mengaku keputusannya membuka thrift store bermula dari kecintaannya pada barang bermerek. Pemilik NMT Second Hand itu mengatakan, saat barang-barang miliknya menumpuk dan nggak terpakai, dia pun mulai berpikir untuk menjualnya.
"Sempat kecanduan (barang bermerek), sampai akhirnya malah nggak terpakai. Ya sudah, (barang-barang itu) dijual lagi," kenangnya
Berawal dari menjual barang preloved inilah, Hajud, begitu dia biasa disapa, mulai punya ide untuk berjualan barang second, apalagi setelah menyadari ada profit yang bisa didapatkannya. Setelah menyiapkan modal, dia pun memutuskan membuka toko sendiri, yakni NMT Second Hand.
Selama menggeluti dunia thrifting, Hajud mengatakan, tren pasar baju bekas sejatinya sulit ditebak, khususnya dari segi merek. Jadi, menurutnya, nggak ada merek spesifik yang laris dan melonjak drastis.
"Ketika pembeli sudah menyukai suatu barang dan 'masuk' ke hatinya, pembeli akan mengambil barang itu," ungkapnya.
Hajud kemudian menambahkan, tren saat ini, barang thrift yang tengah digandrungi para thrifter adalah hoodie dan crewneck lengan balon yang warnanya ngejreng.
"Asalkan warna dan modelnya sesuai, pasti dibeli!"
Terus, untuk menentukan harga barang thrift, Hajud biasanya mempertimbangkan merek, kondisi, dan tingkat kelangkaan barang. Menurutnya, semakin vintage barang itu, biasanya bakal semakin mahal pula harganya.
“Barang vintage itu dihitung 20 tahun dari sekarang. Kaus-kaus 1990-an itu masuknya vintage. Harganya juga lumayan!” tutur Hajud, lalu bercerita bahwa akhir-akhir ini barang thrift vintage mulai kerap diburu pembeli. Wah, ada peluang nih! Ha-ha.
Tren thrifting yang kian marak tentu menjadi kabar baik bagi bumi yang semakin berat disumpali pakaian bekas kita. Eits, tapi, pastikan barang thrift itu aman dari bakteri dan kuman ya, karena kamu kan nggak tahu siapa pemakainya terdahulu! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)