Inibaru.id – Lemper jadi salah satu jajanan tradisional yang sering disajikan saat ada hajatan, kenduri, atau kumpulan warga. Selain karena rasanya yang enak dan mengenyangkan, konon, lemper sering dipilih untuk disajikan pada acara-acara di mana orang berkumpul karena dianggap sebagai lambang persaudaraan orang Jawa.
Terbuat dari beras ketan dan dimasak dengan santan, lemper memiliki rasa dan aroma yang khas. Apalagi, pembungkusnya juga daun pisang yang dikenal bisa mempengaruhi aroma makanan dengan signifikan.
Di dalamnya, terdapat isian daging, abon, atau serundeng kelapa. Ukurannya memang kecil, biasanya hanya sekitar segenggaman tangan. Tapi, jajanan ini bisa mengenyangkan, lo.
Tapi, dari berbagai aneka jenis isian yang bisa kamu temui di dalam lemper, yang kali pertama dikenal orang Jawa adalah lemper dengan isi serundeng. Alasannya, pada zaman dahulu, harga daging ikan, ayam, ataupun sapi mahal.
Selain itu, daging kurang praktis dan harus dipotong kecil-kecil untuk dimasukkan di dalam lemper yang ukurannya juga nggak besar. Beda dengan pada zaman modern di mana daging bisa digiling atau dijadikan abon, tentu mudah untuk dimasukkan ke dalam lemper.
Kalau menurut keterangan Etnis pada 2019 lalu, lemper punya makna filosofis yang cukup dalam, lo. Dari namanya saja, ternyata berasal dari kalimat Bahasa Jawa ‘yen dialem atimu ojo memper’ yang berarti ‘jika dipuji, jangan menyombongkan diri’.
Lebih dari itu, jika kita menilik bahan-bahan yang dipakai, lemper bisa dianggap sebagai lambang persaudaraan orang Jawa. Beras ketan yang dikenal lengket dianggap sebagai perekat persaudaraan, baik itu keluarga ataupun tetangga. Oleh karena itulah, jangan heran kalau penganan ini jarang absen disajikan di acara hajatan atau kenduri.
Jika kita menilik tradisi Rebo Pungkasan yang digelar di Wonokromo, Pleret, Bantul, DIY, lemper wajib disajikan. Dalam tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir pada bulan Safar dalam penanggalan Jawa, kamu bahkan bisa melihat lemper raksasa disajikan bersamaan dengan gunungan hasil bumi.
O ya, tradisi ini digelar sebagai peringatan bertemunya tokoh agama Pleret Kyai Usman Faqih dan Sri Sultan Hamengku Buwana I yang memerintah Kesultanan Yogyakarta dari 1755 sampai 1792.
Nggak nyangka ya, Millens, sebuah jajanan tradisional yang mudah ditemui di mana-mana ternyata punya makna filosofis luar biasa. Omong-omong, kamu suka ngemil lemper kan? (Arie Widodo/E05)