Inibaru.id - Bayangkan sebuah bangsa yang bangga mencetak ijazah, tapi gagal melahirkan manusia yang siap hidup. Kita merayakan kelulusan dengan toga, tapi lupa bertanya: apa yang sebenarnya mereka bawa ke medan kehidupan?
Data mengungkapkan kenyataan pahit. Di sektor vokasi, khususnya pendidikan SMK, angka pengangguran justru paling tinggi—7,28 juta orang pada Februari 2025, dengan dominasi lulusan SMK. Di Karawang, jantung industri besar, 9,48% lulusan SMK tetap menganggur meski ribuan perusahaan berdiri di sana. Apa artinya ijazah bila dunia kerja menolak mengetuk pintunya?
“Pendidikan tanpa arah ibarat kapal berlayar tanpa bintang penunjuk: ia bergerak, tapi tak pernah sampai.”
Kita sering menyalahkan murid karena tak memiliki keterampilan, padahal sistem pendidikan nasional lah yang gagal menjembatani kebutuhan industri dengan isi kurikulum. Dunia kerja menuntut literasi digital, komunikasi, kerja tim, dan daya adaptasi. Sementara sekolah masih sibuk dengan hafalan dan ujian kertas.
Ironisnya, akses pendidikan memang meluas, tapi kualitasnya rapuh. Rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya 9,22 tahun—setara SMP. Bahkan yang menempuh SMK sekalipun, banyak yang akhirnya menjadi bagian dari statistik pengangguran terbuka.
“Ijazah bisa memberi status, tapi hanya keterampilan hidup yang memberi masa depan.”
Vokasi Bermakna, Sinergi Bangsa
Kita butuh perubahan yang sistemik. Pendidikan vokasi tidak bisa lagi dipandang sebagai jalur kedua yang asal-asalan. Ia harus terhubung dengan industri, memiliki kurikulum yang hidup, praktik magang yang bermakna, serta sertifikasi kompetensi yang diakui. Tujuannya bukan sekadar menyiapkan pencari kerja, melainkan pencipta peluang.
Program sporadis seperti Gerakan 1.000 Anak Putus Sekolah SMK Berdaya patut diapresiasi. Namun tanpa pembaruan dari hulu ke hilir, semua itu hanya tambalan kecil di kapal yang sudah bocor.
“Bangsa yang gagal menata pendidikannya sedang menyiapkan generasi untuk menjadi penonton, bukan pelaku masa depan.”
Pendidikan bukan urusan satu lembaga. Ia menuntut dialog strategis antara pemerintah, legislatif, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat. Sinergi inilah yang akan melahirkan lulusan siap kerja dan siap hidup, yang tidak sekadar menunggu, tetapi mampu menentukan arah masa depannya.
Mari hentikan siklus pendidikan yang hanya menghasilkan lulusan di atas kertas. Kita harus menata ulang tujuan pendidikan: bukan sekadar lulus, tetapi benar-benar siap hidup.
