Inibaru.id - Bayangkan sebuah orkestra yang sengaja membungkam separuh instrumennya. Musiknya tetap terdengar, tapi kehilangan harmoni. Itulah suara bangsa ketika perempuan tak diberi ruang penuh.
Data sudah bicara. Di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah—tulang punggung ekonomi nasional—hampir dua dari tiga pelakunya adalah perempuan. Mereka bukan pelengkap. Mereka adalah pondasi.
Namun, dari sepuluh kursi manajerial dan pengambilan keputusan strategis, hanya tiga yang diisi perempuan.
“Bangsa yang mengabaikan setengah kekuatannya ibarat pelaut yang membuang separuh layarnya, lalu mengeluh angin tak memihak.”
Konstitusi telah menuliskan kesetaraan sebagai janji. Regulasi pun mengakuinya sebagai prinsip.
Tapi janji yang tidak dihidupi hanyalah catatan indah di kertas, sementara kenyataan berjalan ke arah sebaliknya.
Ketimpangan Peran
Kita bersorak untuk segelintir nama perempuan yang berhasil menembus panggung publik, sementara jutaan lainnya terkurung di lorong pasar, pabrik rumahan, dan pekerjaan domestik yang tak pernah masuk statistik ekonomi.
Jika kita sungguh menginginkan percepatan, membiarkan ketimpangan ini bukan sekadar kekeliruan moral—itu kelalaian strategis.
Partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan publik bukanlah hadiah belas kasihan. Itu adalah kebutuhan logis bangsa yang ingin bertahan.
“Keadilan bukanlah memberi ruang bagi yang lemah, melainkan mengakui bahwa kekuatan bangsa berasal dari semua yang sanggup berdiri.”
Jalan Percepatan
Pengalaman perempuan membawa pandangan yang lebih utuh—menyentuh pendidikan, kebudayaan, kesejahteraan keluarga—dan mengakar pada realitas hidup.
Mengabaikan suara ini sama dengan membuang separuh layar kapal, lalu bertanya mengapa kapal tak kunjung bergerak cepat.
Kita tak bisa lagi mengandalkan inisiatif sporadis yang lahir dan mati tanpa arah.
Kita membutuhkan peta jalan yang jelas, terukur, dan terintegrasi di semua sektor—ekonomi, sosial, politik, bahkan teknologi—yang memastikan perempuan hadir di pusat pengaruh.
Sebab pembangunan berkelanjutan mustahil berjalan ketika setengah bangsa ini dibiarkan di luar ruang pengambilan keputusan.
“Negara yang bijak bukan hanya memberi panggung, tapi memberi kendali kepada mereka yang mampu mengubah arah.”
Perempuan bukan beban pembangunan. Mereka adalah energi yang menggerakkannya.
Dan bangsa yang terus membungkam separuh instrumennya tak akan pernah memainkan simfoni penuh yang bisa mengguncang dunia. Saatnya kita membiarkan seluruh harmoni bekerja—atau kita akan selamanya bermain lagu setengah hati.
