Inibaru.id – Dalam kanal “Tradisinesia”, Inibaru.id menulis bahwa wayang kulit juga ada di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan sebutan wayang sasak. Nah, selain sosok-sosok pelestari tradisi wayang tersebut seperti Suhame yang mendirikan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di Ampenan, NTB, ada nama lain yang kiprahnya dalam melestarikan wayang sasak pantas diapresiasi. Namanya Lalu Nasib AR, dalang wayang sasak.
Dikutip dari Beritagar.id (12/1/2018), lelaki berusia 70 tahun itu kali pertama belajar mendalang kala duduk di kelas lima Sekolah Rakyat (SR) pada 1957. Waktu itu dia membuat wayang menggunakan kardus bekas di depan halaman rumahnya, di Dusun Perigi, Desa Gerung Selatan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bersama kawan-kawan, ia bermain wayang-wayangan. Pada saat itu ia hanya mengingat-ingat jalan cerita wayang sasak dari yang pernah dia tonton di lapangan umum desanya.
Lalu Nasib serius mendalang sejak 1965. "Akhir pemerintahan Presiden Sukarno, saya mulai mendalang tapi belum banyak disewa orang," cerita Lalu Nasib.
Perlu kamu tahu, Lalu Nasib nggak butuh waktu terlalu lama untuk moncer. Dengan wayang sasaknya, empat tahun sejak mulai mendalang, dia tampil di mana-mana. Undangan tampil lebih banyak datang dari dinas pemerintah. Wayang sasak Lalu nasib dijadikan medium sosialisasi Pancasila, program Keluarga Berencana (KB), pencegahan penyakit menular, dan penghijauan di hutan. Saat itu sekali tanggapan, dia mendapat honor sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Jangan baca jumlah itu dengan ukuran sekarang lo, ya. Honor sejumlah itu pada awal 1970-an jelas-jelas rrruar biasa.
Baca juga:
Rafa dan Kepedulian terhadap Sampah Elektronik
Hamzah Izzulhaq, Muda-muda Pintar Usaha
Lalu Nasib mengakui, dia nggak banyak mengolah gagasan atas cerita yang dia sajikan lewat wayang sasak. Ketika itu, dia nggak pernah mengungkap ihwal politik. Kamu yang dari generasi milenial perlu tahu bahwa semasa Orde Baru alias Orba, nggak banyak seniman yang mengangkat isu politik. Bila pun ada, “aspek politik” itu dikemas secara samar-samar. Nggak kayak sekarang ya, anak SD saja bisa unggah cuitan atau postingan yang ada kaitannya dengan politik, kan?
Kembali ke kiprah Lalu Nasib, kualitas gaya dalangnya nggak lepas dari inovasinya memasukkan unsur modern dalam pergelaran wayang sasaknya. Dalam sajiannya, Lalu Nasib memasukkan figur atau benda modern (tentu saja dalam bentuk wayang) seperti dokar, motor, hingga pesawat antariksa Apollo. Masyarakat di Lombok senang dengan gaya modern itu.
Pelestarian
Sudah lebih dari 50 tahun Lalu Nasib mendalang. Wayang sasak juga terancam punah lantaran nggak banyak lagi dalang dan nggak banyak juga generasi penerus yang mau belajar mendalang.
Kenapa? Menurut Lalu Nasib, faktor bahasa jadi kendala yang menghambat generasi setelah Lalu Nasib menggeluti wayang sasak. Perlu Millens tahu, wayang sasak memakai bahasa Kawi (Jawa Kuno). Bahasa itu lebih banyak nggak dipahami masyarakat.
Nah, inilah peran Lalu Nasib yang pantas diapresiasi betul-betul. Dia secara bertahap mengubah bahasa pedalangan dengan menyisipkan kata-kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sasak.
Buah inovasi pun dipetik. Anak muda mulai menonton dan betah duduk berlama-lama menyaksikan aksi mendalang Lalu Nasib.
Inovasi lainnya adalah mengubah perlengkapan wayangnya. Lampu teplok yang dibuat dari benang dan minyak kelapa dia ganti dengan lampu petromaks (kini sudah pakai listrik).
Lancar-lancar sajakah ketika Lalu Nasib berinovasi? Tentu saja banyak yang protes bahwa Lalu Nasib sudah keluar dari pakem. Tapi dia jalan terus. Dia terus berinovasi. Inovasi lainnya seperti yang sudah disebutkan, yaitu memasukkan “benda” modern ke sajian pertunjukannya.
Nggak hanya itu, Millens. Dia juga melahirkan tokoh lokal Sasak. Bila wayang Jawa punya tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, petruk, bagong, wayang sasak ala Lalu nasib punya tokoh lokal yaitu Inak Amak Ocong, Amak Amat, Amak Baok, dan Inak Etet. Tapi perlu dicatat baik-baik lo, ya: karakter tokoh ciptaan Lalu Nasib itu beda dengan karakter tokoh punakawan wayang Jawa.
Ya, mereka memiliki karakter masing-masing dan menggunakan bahasa Sasak dalam berkomunikasi. "Dari keempat tokoh tersebut hanya Inak Etet yang mewakili perempuan," katanya.
Apalagi, keempat tokoh tersebut memiliki makna simbolis dari struktur sosial-politik masyarakat. Sebut saja tokoh Ocong berperan sebagai penyambung lidah antara raja dan rakyat. Amak Amat sebagai pengontrol atau pengawas pemerintah. Amak Baok berperan sebagai penyensor kultur untuk mencari mana yang relevan dan mana yang nggak dengan struktur sosial masyarakat. Tokoh Baok yang dalam bahasa Indonesia berarti “jenggot” adalah tokoh bijak yang banyak memberi wejangan baik.
Baca juga:
Peduli Lingkungan dengan Cabuti Paku di Pohon
Hari Gini di Bengkulu Guru Dibayar Seribu Rupiah Per Hari?
Singkatnya, Lalu Nasib menciptakan empat tokoh itu berdasarkan pengamatan berbagai karakter orang-orang di Nusa Tenggara Barat. Di NTB terdapat tiga etnis besar, yaitu Sasak, Samawa dan Mbojo. Saat mendalang, Lalu Nasib berusaha mengemas cerita dan memakai bahasa yang bisa merangkul ketiga etnis tersebut.
Yap, dengan nggak henti-henti berinovasi, Lalu Nasib melestarikan wayang sasak. Intinya, kalau ingin bertahan, ya kudu mampu beradaptasi dengan tempat dan zaman. Betul? (EBC/SA)