Inibaru.id - Peperangan sengit melawan agresi militer Belanda di sekitar Pegunungan Muria pada masa penjajahan memunculkan satu nama yang hingga kini masih dikenal luas masyarakat, yakni Tedjo Sulyanto, jurnalis keturunan Tionghoa yang lebih akrab disebut Pak Tee.
Sejarawan Kudus Edy Supratno mengatakan, nama asli Tedjo alias Pak Tee adalah Tee Siong Liang. Hal itu diungkapkannya dalam diskusi bertema Para Pahlawan Kota Kretek di Kudus, akhir Agustus lalu. Dalam pemaparannya, Pak Tee disebut-sebut sebagai bagian dari Komando Muria.
“Pak Tee tergabung dalam Komando Muria atau Macan Putih di bawah kepemimpinan Mayor Kusmanto yang saat itu bermarkas di lereng Muria, tepatnya Desa Glagah Kulon (Kecamatan Dawe, Kudus),” kata Edy dalam diskusi yang bertempat di Pendopo Rumah Dinas Wakil Bupati Kudus tersebut.
Pak Tee, lanjutnya, adalah putra dari Tee Tjoe Hiang; kelahiran 31 Agustus 1926. Lebih jauh lagi, sosok yang juga dikenal sebagai budayawan Kudus itu merupakan keturunan dari Tee Liang Sing (dalam sejumlah literatur dituliskan The Ling Sing).
"Tee Liang Sing adalah sosok penting dalam sejarah Kudus yang hidup pada abad ke-16; yang dipecaya sebagai guru dari Sunan Kudus," terangnya.
Sedikit informasi, Sunan Kudus adalah ulama cum panglima perang Kesultanan Demak yang juga dikenal sebagai anggota dewan Wali Songo. Semasa hidupnya, ulama bernama asli Ja'far Ash-Shadiq ini diyakini memiliki guru sekaligus kawan sejawat bernama Kiai Telingsing atau Tee Liang Sing.
Perjuangan Pak Tee
Dalam diskusi yang berlangsung santai tersebut Edy menyebutkan, ketertarikan Tee Siong Liang pada fotografilah yang membuatnya menekuni profesi di bidang jurnalistik. Semasa muda, dia dikenal sebagai jurnalis lepas di kantor berita Antara.
"Saat agresi militer Belanda memasuki Kudus, banyak pejuang yang melarikan diri ke Pegunungan Muria. Nah, salah satu jasa Pak Tee kala itu adalah mengantarkan bantuan dari Cung Hwa Tiong Hwe (CHTH) Kudus untuk para pejuang di (pusat komando) Glagah Kulon," terangnya.
CHTH, imbuh Edy, adalah organisasi pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah yang waktu itu diperuntukkan bagi orang Tionghoa yang masih berkebangsaan Tiongkok. Organisasi ini berlokasi di pusat kota, yang kini dikenal sebagai Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Kota, Kudus.
"Selain itu, Pak Tee juga bergabung dengan pasukan militer dalam penyerangan pos Belanda di Dawe dan pencegatan di Dukuhwaringin," papar sejarawan peraih gelar doktor dari FIB UGM Yogyakarta itu. “Terus, begitu pertempuran mereda, Pak Tee pun segera mewartakan peristiwa itu untuk Antara.”
Pasca-perang, Edy bercerita, Pak Tee yang kemudian dikenal sebagai jurnalis perang memilih kembali pada passion awalnya, yakni fotografi, dan tinggal di Wergu Kulon, Kecamatan Kota, Kudus, hingga akhir hayatnya. Pak Tee tutup usia pada umur 76 tahun.
"Sepeninggal Pak Tee, keluarga mendiang dapat surat dari Angkatan 45 Dewan Harian Cabang Kudus, berupa wasiat agar makam tempat abu Pak Tee diberi bambu runcing dan bendera Merah-Putih," tutupnya.
Hingga kini, di makam Pak Tee di Kudus yang berlokasi di Kompleks Permakaman Desa Dersalam, Kecamatan Bae, masih tertancap bambu runcing dengan bendera Merah-Putih yang menjadi penanda, dialah jurnalis perang cum pahlawan dalam perjuangan melawan agresi militer Belanda di Pegunungan Muria. (Imam Khanafi/E03)