Inibaru.id – Emiria Sunassa mungkin bukan perupa perempuan yang namanya dikenal oleh masyarakat luas. Namun, perempuan kelahiran Tanawangko (Kampung Tidore), Sulawesi Utara pada 1894 ini disebut-sebut sebagai pelukis perempuan pertama di Indonesia.
Dilupakan dari ingatan masyarakat, sebenarnya siapa sosok Emiria Sunassa ini?
Emiria dikenal aktif sebagai pelukis sejak pameran pertamanya yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1940. Diselenggarakan di Toko Buku Kolf, karya Emiria yang dipajang dalam pameran tersebut berjudul "Telaga Warna".
Selain itu, karyanaya berjudul “Pekuburan Dayak Penihing”, “Orang-orang Papua”, dan “Kampung di Teluk Rumbolt” juga pernah tampil dalam pameran perintis pelukis pribumi, Batavia Kunstkring pada 1941.
Bahkan, karyanya yang berjudul “Pasar” dan “Angklung” mendapat hadiah Saiko Sjikikan pada masa kependudukan Jepang.
Perempuan yang baru serius melukis saat usianya di atas 40 tahun ini juga dikenal aktif sebagai sekretaris bagian seni lukis pada Keimin Bunka Shidosho, pusat kebudayaan yang dibentuk militer jepang sebagai propaganda.
Hingga Desember 1943, Emiria menyelenggarakan pameran tunggalnya di Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Emiria dikenal lebih menonjolkan jiwa seni ketimbang mengikuti teknik-teknik melukis. Berbagai lukisannya banyak menggunakan warna-warna gelap, merah gelap, serta hitam yang diimbangi dengan hijau dan kuning cerah seperti dalam lukisannya yang berjudul “Orang Irian” dan “Burung Cendrawasih”.
Pelukis Feminis Awal
Atas karyanya, Emiria disebut-sebut sebagai seorang yang jenius oleh Sudjono, Bapak Seni Rupa Indonesia. Alih-alih melihat perempuan sebagai objek, Emiria menjadikan perempuan sebagai subjek. Jadi, saat orang mempertanyakan aspek gender, dirinya sudah selangkah berada di depan.
Hal ini terbukti dari karyanya yang dianggap sebagai karya feminis awal karena sering menampilkan perempuan yang bersumber dari cerita pribumi, puak (kelompok), dan model dari rakyat jelata.
“Mutiara Bermain” yang dibuat selama empat tahun sejak 1942 menggambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara di dasar laut. Ini bermakna, betapa tertidasnya perempuan pribumi. Terlebih, pada masa penjajahan Jepang perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu berahi.
Karyanya yang lain "Kembang Kemboja di Bali" (1958), "Wanita Sulawesi" (1958), "Market" (1952), dan "Panen Padi" (1942), juga bertemakan perempuan. Menurutnya, perupa Indonesia masih harus mencari jalannya, seperti yang dikutip oleh Soh Lian Tjie.
“'Pelayan-pelayannya', laki-laki maupun perempuan, harus sadar sepenuhnya, bahwa mereka masih jauh dari tujuan yang ingin mereka capai,” ungkapnya.
Soh Lian Tjie yang mengunjungi Emiria Sunassa pada 1953 mengungkapkan, perempuan tersebut berjiwa bebas-keras yang terlihat dalam lukisan-lukisannya. Emiria melukis sebagaimana dia melihat objeknya, menurut kesan yang dia dapatkan, nggak peduli aturan tentang anatomi atau keinginan pembeli.
Ya, nama Emiria memang terdengar asing ketimbang Basuki Resobowo, Sudjojono, Mochtar Apin, Rusli, dan perupa laki-laki lainnya, seperti jejaknya yang tiba-tiba lenyap pada 1960-an. Namun, Emiria merupakan perupa perempuan yang telah meletakkan pijakan yang tepat bagi kaumnya. (His/IB27/E03)