BerandaHits
Sabtu, 8 Nov 2025 19:44

Tanah Turun, Laut Naik; Krisis Nyata di Balik Mitos Kembalinya Selat Muria

Tanah Turun, Laut Naik; Krisis Nyata di Balik Mitos Kembalinya Selat Muria

Badan Geologi dan BRIN membantah adanya hubungan antara banjir rob Semarang-Demak dengan kemunculan Selat Muria. (IDNTimes)

Bukan mitos atau hukuman alam, krisis di pesisir Semarang-Demak adalah hasil dari akumulasi kesalahan manusia. Di atas tanah muda warisan Selat Muria purba, pembangunan tanpa kendali dan eksploitasi air tanah kini membuat daratan itu perlahan kembali ke laut.

Inibaru.id - Banjir parah yang berulang kali melanda wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah, terutama Semarang dan Demak kembali memunculkan bayangan laut purba: Selat Muria.

Narasi epik tentang selat yang hilang ini mendominasi wacana media sosial, mengaitkan bencana modern dengan proses geologi masa lalu. Namun, para ahli geologi memberikan jawaban yang jauh lebih menakutkan daripada sekadar mitos hukuman alam. Ini adalah krisis yang diciptakan oleh kegagalan tata kelola modern di atas tanah rapuh warisan sejarah.

Warisan Geologis di Atas Tanah Rapuh

Banjir Demak 2024. (Nasional News)
Banjir Demak 2024. (Nasional News)

Secara historis, Selat Muria memang nyata. Perairan ini pernah memisahkan daratan Jawa dari Gunung Muria yang saat itu merupakan sebuah pulau, dan menjadi urat nadi perdagangan bagi Kerajaan Demak.

Selat ini tertutup sepenuhnya pada sekitar Abad ke-17. Penutupan terjadi akibat proses sedimentasi intensif yang dibawa oleh sungai-sungai seperti Tuntang dan Welahan, membentuk dataran aluvial yang tebal dan belum terkonsolidasi.

Tanah muda di Demak dan Semarang ini adalah warisan geologis, tanah yang terbentuk cepat dan secara alami rentan terhadap pemadatan. Ironisnya, alih-alih tenggelam karena proses sedimentasi yang terbalik, tanah "warisan" itu kini dipaksa kembali ke air, bukan oleh geologi purba, melainkan oleh tekanan peradaban modern.

Ancaman terbesar bukanlah kembalinya laut purba secara tiba-tiba, melainkan kompensasi geologis di mana alam mengklaim kembali ruang perairannya akibat tekanan antropogenik. Fakta material yang paling menakutkan adalah penurunan muka tanah (land subsidence). Badan Geologi mencatat, pesisir Demak tenggelam antara 5 hingga 11 cm per tahun!

Laju penurunan yang ekstrem ini dipercepat secara eksponensial oleh aktivitas manusia, terutama ekstraksi air tanah dan beban bangunan industri di atas lapisan tanah lunak tersebut. Ketika genangan air laut pasang (rob) datang diprediksi mencapai 1,63 meter pada 2025, daerah yang sudah turun drastis elevasinya, seperti Sayung Demak dan Kaligawe Semarang , akan tergenang parah. Dataran ini sudah berada di bawah permukaan air laut.

Mitos Selat Muria Mengalihkan Perhatian

Meskipun narasi Selat Muria mendominasi diskursus publik, para pakar geologi menegaskan bahwa kemunculan kembali perairan purba ini tidak realistis dalam waktu dekat. Pembentukan Selat Muria membutuhkan proses geologi katastrofik, seperti gempa bumi tektonik besar yang memicu amblasan tiba-tiba (graben), bukan sekadar penurunan tanah gradual akibat ulah manusia.

Namun, narasi ini berfungsi sebagai kritik yang kuat. Wacana "Selat Muria kembali" menjadi simbol kritis terhadap pembangunan yang tidak berkelanjutan di dataran yang rapuh. Bukti konflik terlihat jelas dalam upaya mitigasi: proyek infrastruktur seperti Jalan Tol Semarang-Demak, yang juga berfungsi sebagai tanggul laut, justru dilaporkan menghilangkan sekitar 46 hektar hutan mangrove di pesisir. Padahal, mangrove adalah benteng ekologis alami yang vital dalam menstabilkan tanah dan melawan rob.

Banjir Semarang-Demak adalah manifestasi dari krisis hidrometeorologi (cuaca ekstrem) dan struktural. Solusi hard engineering yang sedang gencar dilakukan pemerintah, seperti penambahan kapasitas pompa air (hingga 38 unit di Kaligawe) dan pembangunan tanggul laut , hanya meredakan gejala akut.

Akar masalahnya tetap pada tata kelola yang buruk terhadap ekosistem yang rentan. Kementerian Lingkungan Hidup menyarankan pendekatan berbasis bentang laut (seascape-based approach), di mana pengelolaan lingkungan di Pantura harus melampaui batas administratif dan melihat wilayah ini sebagai satu kesatuan ekosistem.

Jika laju penurunan tanah 5-11 cm per tahun nggak dikendalikan, dan ekosistem alami terus dikorbankan demi pembangunan, cepat atau lambat, Semarang-Demak memang akan tenggelam. Bukan karena Selat Muria kembali oleh takdir purba, tetapi karena kita gagal mengelola warisan geologis kita sendiri. Krisis ini adalah tentang waktu yang tersisa, bukan tentang mitos yang kembali. Gimana pendapatmu, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved