Inibaru.id – #WadasMelawan, #GejayanMemanggil, #dijebakuinws adalah sejumlah tagar yang digunakan warganet untuk menyampaikan informasi, aspirasi, hingga memengaruhi massa. Apakah sebenarnya tagar memang cukup efektif dipakai untuk kebutuhan tersebut?
Media sosial kini lebih dari sekadar tempat untuk sharing. Realitanya, media sosial juga jadi tempat untuk menyampaikan aspirasi hingga memengaruhi massa, salah satunya dengan memakai tagar. Tapi, apakah benar tagar cukup efektif sebagai cara menyampaikan aspirasi?
Contoh dari penyampaian aspirasi lewat tagar media sosial adalah hastag #dijebakuinws yang sempat viral pada Selasa (19/7) lalu. Tagar ini dinaikkan media sosial sebagai cara untuk memprotes Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
Viralnya tagar ini sampai membuat Badan Eksekutif Mahasiswa dan Aliansi Mahasiswa Walisongo di kampus tersebut bereaksi. Bahkan, pada Rabu (20/7), audiensi dilakukan oleh Senat Mahasiswa kampus tersebut dari sejumlah fakultas dengan Dewan Mahasiswa.
Tagar dan Demonstrasi
Kamu tentu masih ingat demo besar-besaran menolak RKUHP dan sejumlah RUU lainnya pada September 2019 lalu. Salah satu penyebab banyaknya massa dari kalangan mahasiswa mengikuti aksi demonstrasi tersebut adalah tagar #gejayanmemanggil.
Gejayan pada #gejayanmemanggil mengacu pada Jalan Gejayan, salah satu jalan di Yogyakarta yang menghubungkan Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Atma Jaya. Letak jalan tersebut strategis dan mudah diakses mahasiswa dari kampus-kampus besar lain di kota tersebut.
Tagar Efektif atau Nggak?
Banyak orang menganggap tagar yang viral di media sosial sebagai salah satu tanda kesuksesan kampanye dari sebuah isu. Tapi, terkadang tagar yang viral tersebut berasal dari akun-akun bot, bukannya dari akun-akun organik. Jadi, apakah sebenarnya tagar masih efektif sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi?
Country Industry Head Twitter Indonesia Dwi berpendapat bahwa tagar sebenarnya mempunyai fungsi untuk melakukan cuitan dengan tema yang sama.
“Poin dari tagar itu sebenarnya untuk melakukan grouping pembicaraan,” jelas Dwi.
Selain itu, tagar juga bisa dipakai pengguna untuk memudahkan pencarian akan sesuatu hal dengan lebih mudah di media sosial. Meski begitu, khusus untuk Twitter, kamu nggak perlu menuliskan tagar untuk mencari sesuatu. Cukup memasukkan kata kunci, cuitan yang kamu cari bakal keluar.
Bukan Cara untuk Viral
Menurut Dwi, warganet Twitter Indonesia menyalahpahami tagar sebagai cara untuk viral. Nggak heran jika dalam sebuah cuitan, ada banyak tagar yang disematkan.
Bagi Dwi, hal itu nggak efektif untuk promosi, karenaa pada saat warganet meng-klik tagar yang disematkan, yang keluar justru cuitan-cuitan dengan tagar atau kata kunci tersebut, bukannya situs atau tautan lain yang sebenarnya harus dipromosikan.
Meski begitu, jika sebuah tagar menjadi viral, banyak warganet yang mencari tahu tentang hal tersebut. Informasi-informasi dari cuitan itu pun bisa dibaca oleh banyak warganet. Contohnya, berkat #dijebakuinws banyak orang yang tahu tentang polemik UKT UIN Walisongo Semarang.
Kalau menurutmu, apakah tagar masih cukup efektif dipakai di media sosial, Millens? (Kom,Ama,Jus/IB09/E10)