Inibaru.id – Jalan Malioboro adalah jalan paling ikonik di Yogyakarta. Nggak hanya soal nilai sejarah atau estetika, keberadaan PKL Malioboro juga jadi penyebab jalan ini pasti dikunjungi para wisatawan. Sayangnya, keunikan Malioboro dengan para PKL-nya bakal berkurang karena mulai bulan depan, Februari 2022, PKL Malioboro direlokasi.
Nantinya, para pedagang kaki lima ini nggak bakal kamu lihat lagi di Jalan Malioboro karena mereka bakal dipindah ke bangunan bekas Bioskop Indra serta bekas kantor Dinas Pemerintahan DIY. Para pedagang mengaku pasrah dengan hal ini.
Kalau menurut budayawan Yogyakarta Achmad Zubair, PKL Malioboro mulai dikenal pada 1970-an. Saat itu, para pedagang mulai menempati sisi jalanan tersebut. Hanya, kalau bicara soal sejarah, sebenarnya di sisi jalan ini, sudah banyak orang berdagang sejak akhir abad ke-19.
Pada zaman itu, Indonesia masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Jelas nggak ada mall atau pertokoan modern. Saat itu, pusat ekonomi Yogyakarta adalah Pasar Beringharjo yang masih eksis hingga sekarang.
Di depan Kepatihan yang ada di Jalan Malioboro, abdi dalem diperbolehkan berdagang atas izin Patih Danureja. Setelah itu, sejumlah orang dari kawasan Pecinan alias Kampung Ketandan juga membuka toko. Orang-orang dari daerah lain seperti Kotagede pun kemudian ikutan membuka lapak di Malioboro.
“Akhirnya ramai dan jadi pusat perekonomian, bukan hanya di ruas Malioboro, tapi juga dari Tugu sampai (perempatan) Nol Kilometer,” ujar Achmad, Jumat (21/1/2022).
Berkembangnya Malioboro jadi pusat ekonomi membuat kawasan ini dikenal jadi pusat kuliner, penjualan kain, dan lain-lain. Semakin banyak orang berjualan meski nggak punya toko. Mereka memanfaatkan lahan-lahan sempit di depan pertokoan demi mencari nafkah. Nah, PKL yang kamu kenal sekarang ini mulai benar-benar terbentuk pada 1970-an lalu, Millens.
Kalau menurut Achmad, meski banyak PKL berjualan di depan toko, pemilik toko sama sekali nggak merasa dirugikan. Asalkan, mereka nggak menghalangi pintu masuknya. Keberadaan para PKL ini juga menarik banyak wisatawan dan pembeli, yang pada akhirnya juga bakal tertarik masuk ke dalam toko. Hubungan mereka pun seperti simbiosis mutualisme.
Achmad termasuk dalam pihak orang-orang yang nggak setuju PKL Malioboro dihilangkan karena mereka sudah seperti menjadi ikon bagi lokasi ini.
“Seharusnya mereka juga tidak dihilangkan dari Malioboro,” saran Achmad.
Meski begitu, kebijakan Pemerintah Yogyakarta untuk merelokasi PKL ini juga nggak bisa disalahkan begitu saja. Realitanya, para PKL ini berjualan di lokasi para pejalan kaki.
Kalau kamu, setuju nggak nih dengan kebijakan PKL Malioboro direlokasi, atau malah merasa nanti Malioboro seperti kehilangan roh-nya karena nggak ada lagi PKL, Millens? (Kum/IB09/E05)